Liputan6.com, Caracas - Tepung, pasta, dan susu merupakan kebutuhan lazim yang sejak lama hampir selalu tersedia di dapur setiap warga Venezuela. Namun kini ketiganya menjelma menjadi barang langka nan mewah.
Hanya mereka yang memiliki uang tunai dalam jumlah sangat banyak atau koneksi dengan pihak tertentu yang bisa mendapatkan ketiga bahan makanan tersebut.
Advertisement
Nyaris tidak ada susu segar di rak-rak toko, demikian juga susu bubuk. Kalau pun ada di pasar gelap, harganya dapat mencapai 100 kali lipat lebih mahal.
"Kami menemukan susu yang dijual seharga 7.000 bolivar Venezuela -- lebih dari US$ 700 di kurs mata uang resmi. Jika Anda memiliki dolar AS Anda dapat menukarnya di pasar gelap dengan harga yang jauh lebih menguntungkan. Mungkin mendapat 1.000 bolivar untuk setiap dolar," tulis CNN dalam laporannya, Rabu (3/8/2016).
Tepung jagung juga bernasib sama, mewah dan langka. Padahal tepung jenis ini merupakan bahan untuk membuat arepas, roti tradisional Venezuela yang memiliki beragam pilihan isi.
Jika tersedia di supermarket, harganya akan mencapai 190 bolivar untuk 1 kg, sementara keberadaan tepung jagung juga langka di toko. Di pasar gelap, harganya jauh lebih mahal, sekitar 15 kali lipat.
Laporan CNN menyebutkan, stok pasta juga sangat terbatas di Venezuela. Belum lama ini mereka menemukan, di Caracas 1 kilogram pasta kering dijual 200 kali lipat lebih mahal dibanding harga resmi.
Hanya untuk membeli 1 kg susu, 1 kg tepung, dan 1 kg pasta warga Venezuela diperkirakan harus merogoh kocek sebanyak 15.000 hingga 20.000 bolivar. Jumlah ini setara dengan upah minimum mereka selama satu bulan.
Mereka yang tak punya pilihan, terpaksa pergi ke supermarket milik pemerintah yang menyediakan barang dan makanan bersubsidi. Namun itu pun ada aturannya, mereka harus menunggu jadwal yang ditentukan, menunjukkan kartu identitas, dan mengantre selama berjam-jam dan jika beruntung mereka akan mendapat barang-barang yang mereka butuhkan.
"Saya sudah mengantre sejak pukul 03.00 dan hanya mendapat dua pasta gigi. Saya terancam makan pasta gigi malam ini," ujar seorang perempuan berusia 19 tahun, Monica Savaleta.
Sementara itu seorang warga lainnya, Wilfredo Cardona mengatakan, penghasilannya yang mencapai 40.000 per bulan kini seolah tak ada artinya. "Saya datang untuk membeli tepung, nasi, dan gula, namun saya belum menemukan barang-barang yang saya butuhkan. Baru dua batang sabun dan saya tidak bisa makan sabun," jelas Cardona.
Wilmer Gomez, petugas kebersihan memiliki upah 24.000 per bulan. Ia mengaku pergi dari toko ke toko untuk mencari biaya tambahan.
"Saya mengantre, menunggu giliran untuk mendapat makanan bersubsidi dan ketika tiba waktunya, tak ada yang tersisa. Saya telah mencari makanan sepanjang hari. Pagi tadi saya menemukan empat botol minyak di satu toko, sebatang sabun di toko lainnya, juga deterjen di tempat yang berbeda. Saya berharap bisa menemukan tepung jagung sekarang," imbuhnya.
Apa yang Terjadi di Venezuela?
Mulai dari pantai yang indah hingga pegunungan yang tertutup salju, Venezuela memiliki semuanya. Negara ini tercatat menyimpan salah satu cadangan minyak terbesar di dunia.
Ketika Hugo Chavez mengambil alih kekuasaan pada 1999, banyak kalangan profesional memilih meninggalkan negara itu. Mereka pesimistis terhadap masa depan Venezuela.
Namun apa yang terjadi di luar dugaan. Pada awal pemerintahan Chavez, tingkat kemiskinan menurun, jumlah anak-anak yang bersekolah meningkat, dan akses terhadap air minum bersih juga meluas.
Situasinya kini berubah. Negara itu berada dalam krisis pangan, kesehatan, dan energi.
Penyebab dari memburuknya perekonomian Venezuela adalah anjloknya harga minyak dunia. Ketika harga minyak mencapai US$ 100 juta per barel, jutaan dolar dibelanjakan untuk program-program sosial dan subsidi pangan.
Sementara ketika harga minyak turun dari US$ 30 juta per barel, program-program tersebut tak bisa dilanjutkan.
Turunnya harga minyak sebagai sumber pendapatan utama negara itu berdampak pada kurangnya ketersediaan mata uang asing di dalam negeri sehingga pemerintah tak mampu membiayai impor barang-barang.
Dan yang terjadi berikutnya adalah kelangkaan atas sejumlah barang, termasuk obat-obatan.
Pada era Chavez, ia memerintahkan agar sejumlah harga kebutuhan pokok dikontrol sehingga dapat dijangkau oleh setiap warga Venezuela. Sementara harga-harga sekarang ini tak terkendali sehingga kebijakan impor lebih difokuskan, namun di sisi lain keadaan ini memperburuk kekurangan mata uang asing.
Venezuela disebut jarang menerbitkan data ekonomi mereka, tapi Dana Moneter Internasional (IMF) melaporkan negeri itu tengah lumpuh akibat kenaikan harga barang-barang. Bahkan IMF menyebut, inflasi yang dialami Venezuela merupakan yang tertinggi di dunia.
Karut marut perekonomian ini diperparah dengan perselisihan politik menyusul pertikaian antara Presiden Nicolas Maduro --tangan kanan Chavez-- dengan pihak oposisi. Selama berkuasa, mantan sopir bus kota itu dinilai tidak cakap mengelola pemerintahan dan tidak memiliki karisma sebagai pemimpin.
Tahun lalu, oposisi memenangkan mayoritas kursi parlemen dan meluncurkan kampanye untuk menyingkirkan Maduro. Namun sang presiden hanya mengatakan bahwa parlemen telah kehilangan validitas politik dan ia bersumpah akan mempertahankan kekuasaannya.
Anjloknya harga minyak dunia, minimnya peredaran mata uang asing, tingginya tingkat inflasi, dan pertikaian politik telah menyeret rakyat Venezuela dalam kesengsaraan.
Bahan-bahan konsumsi dasar dan obat-obatan langka, pemadaman bergilir terjadi, pengangguran meningkat diikuti dengan tingginya angka kejahatan bahkan sejumlah penyakit seperti malaria yang pernah diberantas kini juga kembali menghantui.
Hal-hal tersebutlah yang mewarnai kehidupan rakyat Venezuela beberapa waktu belakangan ini dan kondisinya diprediksi akan terus memburuk jika dibiarkan berlarut-larut.