Liputan6.com, Depok - Proses penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2016 di Kota Depok, Jawa Barat, ditengarai diwarnai praktik tak patut. Siswa bernilai rendah bisa masuk SMA Negeri asal orangtuanya mau membayar calo hingga puluhan juta rupiah.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMAN 2 Depok, Agus Suparman, menyebutkan, para calo itu datang dari berbagai latar belakang profesi. Mulai dari anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), wartawan, atau anggota DPRD.
Selama masa PPDB berlangsung, calo berasal dari oknum wartawan dan anggota LSM. Mereka bisa membawa satu hingga empat siswa titipan ke sekolah-sekolah negeri di Kota Depok.
"Kalau yang satu LSM bawanya satu sampai empat siswa titipan. Total kalau didaftar titipan bisa sampai 100 siswa yang disebar ke banyak sekolah," ungkap Agus di Depok, Kamis (4/8/2016).
Tarifnya, satu orangtua siswa akan dimintai Rp 10 juta sampai 15 juta. Bahkan, tarif tertinggi 'dibanderol' mereka yang ingin masuk ke SMAN 1 dan SMAN 2 Depok yang notabene merupakan sekolah favorit.
"Kemarin yang saya dengar orangtua siswa titipan ini memasang tarif Rp 20 juta, untuk sekolah kami dan SMAN 1 Depok," ujar Agus.
Namun, Agus tak bisa berkomentar terkait jumlah siswa yang dibawa oknum DPRD dan polisi. Sebab, mereka biasanya langsung bersentuhan dengan kepala sekolah.
"Mereka itu tidak pernah menyentuh ke saya di PPDB. Tapi beliau menyentuhnya ke kepala sekolah," ucap Ketua Panitia PPDB SMAN 2 Depok itu.
Kendati demikian, Agus menegaskan, tak sepeser pun uang yang diterima pihak sekolah dari siswa titipan yang dilakukan berbagai oknum itu.
"Pihak sekolah tidak pernah menyentuh sedikit pun uang mereka. Satu rupiah pun kami tidak terima uang hasil PPDB mereka," ucap dia.
Celah Afirmasi
Advertisement
Celah yang digunakan para oknum tersebut diduga memanfaatkan jalur afirmasi, yang ditetapkan Dinas Pendidikan Kota Depok. Padahal, jalur tersebut tadinya untuk mengakomodir siswa yang berlatar belakang ekonomi rendah atau miskin.
Celah inilah yang dimanfaatkan para calo. Namun celah ini tergantung pihak sekolah dan dinas pendidikan terkait.
"Kami di sini juga menerima jalur nonakademik, di situ ada kuota 25 persen untuk afirmasi dan prestasi. Kemungkinan mereka manfaatkan jalur itu," ungkap Agus.
Agus mengaku, beberapa hari yang lalu pihaknya pernah didatangi orangtua yang memanfaatkan jasa calo tersebut. Dia menangis di depan gerbang SMAN 2 Depok.
Ternyata, orangtua tersebut telah membayar uang kepada anggota LSM sebesar Rp 16 juta. Namun, anak tersebut tidak terdaftar sebagai siswa SMAN 2 Depok.
"Ada satu orang. Ketika ditanya katanya dia sudah bayar tapi anaknya enggak masuk ke sini," pungkas Agus.
Intimidasi
Untuk memasukkan siswa 'titipan', para calo ini akan berbuat berbagai cara. Mereka bahkan bisa mengintimidasi pihak sekolah.
Di antaranya mendesak pihak sekolah membuka rombongan belajar atau rombel baru, dengan alasan banyak siswa titipan yang tak tertampung.
Agus mengaku hampir setiap hari sekolahnya kedatangan calo yang ingin memasukkan siswa 'titipan'. Padahal, masa PPDB 2016 sudah tuntas.
"Setiap hari mereka datang. Entah itu satu orang dua orang, atau tiga orang. Sudah pasti sangat mengganggu pihak sekolah, terutama untuk kondusivitas belajar-mengajar," kata dia.
Mereka mendesak pihak sekolah agar ada penambahan siswa. Modusnya bermacam-macam, mulai permohonan secara santun, sampai ancaman dan teror secara langsung ataupun melalui pesan elektronik.
"Teror ke pribadi sih tidak ada, tapi ke sekolah banyak. Ada ancaman mau bongkar inilah atau itulah," ucap Agus
"Bilang gini 'Pak Agus, ini Pak Agus yang menghancurkan SMAN 2. Tunggu tanggal mainnya'," sambung Agus, menirukan ucapan sang calo.
Agus menegaskan pihaknya tidak akan mengindahkan desakan dari manapun dan berpegang teguh kepada petunjuk teknis atau juknis yang dikeluarkan Dinas Pendidikan Kota Depok.
Untuk kelas X di sekolah SMAN 2 terdiri dari sembilan rombel. Masing-masing rombel berisi 40 siswa.
"Saya masih berusaha tidak melanggar juknis. Meski katanya akan ada arahan untuk menambah rombel jadi 10 kelas, tapi
belum ada surat," ungkap Agus.
Kalau pun ada, Agus sudah mengingatkan bahwa SMAN 2 Depok tidak bisa membuka rombel baru. Alasannya karena keterbatasan ruangan.
"Kami sudah memasang spanduk di depan yang berisi permohonan maaf, tidak bisa mengakomodir karena fasilitas kami terbatas," pungkas Agus.
Hal berbeda terjadi di SMAN 3 Depok. Humas SMAN 3 Depok Prapanca Adi mengatakan, sesuai kesepakatan dari Dinas Pendidikan Kota Depok, setiap sekolah negeri diperbolehkan menambah dua siswa di setiap rombelnya.
"Ada laporan tambahan dari juknis. Satu kelas siswanya ada 40 siwa di situ nanti ada penambahannya dua siswa. Ya, memang aturannya di situ, jadi kami melaksanakan aturan saja," ujar Prapanca.
Prapanca tak menampik adanya intervensi dari berbagai pihak, terutama lapisan masyarakat yang membawa siswa 'titipan', namun tidak menjadi siswa di SMAN 3 Depok.
"Tiap hari pada datang. Ya, pokoknya banyak dari berbagai lapisan masyarakat yang mempunyai kepentingan. Itu yang lebih tahu kepala sekolah," tutup Prapanca.
Sementara, Sekretaris dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Depok belum dapat dikonfirmasi, terkait adanya dugaan praktik percaloan untuk masuk sekolah favorit ini. Beberapa kali dihubungi, mereka tidak mengangkat telepon.
Advertisement