Liputan6.com, Jakarta - Diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 31 Desember 2015 dan efektif tahun 2016, menimbulkan sebuah pertanyaan besar: siapkah kita bersaing dengan tenaga kerja asing atau expat di negeri sendiri?
Karir.com merangkum analisis kesiapan pemerintah hingga pekerja Indonesia menghadapi persaingan di era MEA ini. Artikel ini dibuat juga berdasarkan wawancara dengan Bernadette Themas, Managing Director Kelly Services Indonesia.
Bagaimana kesiapan pemerintah?
Meski gaungnya sudah terdengar sejak awal tahun 2015, namun sudahkah ada sosialisasi top-down dari pemerintah pusat ke daerah? Rasa-rasanya belum ada cukup awareness yang dibangun sepanjang 2015. Kesiapan pemerintah memang sudah terlihat, tapi masih minim. Jika dibandingkan negara-negara lain yang terlihat cukup agresif, negara kita masih ketinggalan.
Ketika berbicara MEA, kita berbicara sebuah hal yang jika kita lihat lebih dalam terdengar “mengerikan,” yakni arus bebas pertukaran barang, jasa, tenaga kerja terampil, modal dan investasi. Dengan diberlakukannya MEA, kelima hal tersebut bebas keluar-masuk Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Sebenarnya negara kita memiliki kesempatan yang sama. Namun pertanyaannya adalah apakah pemerintah kita sudah siap? Dan yang lebih penting lagi, bagaimana sosialisasi atau awareness yang dibangun sejauh ini, baik ke perusahaan-perusahaan swasta maupun SME (Usaha Kecil Menengah/UKM). Perlu dimasukkan juga dalam sosialisasi ini apa saja tantangan dan/atau kendala yang mungkin akan dihadapi karena akan berdampak pada business plan mereka. Baru kemudian kita berbicara persiapan.
Meski menurut Wapres Jusuf Kalla, perdagangan dan pergerakan orang untuk bekerja selalu bergerak dari pendapatan rendah ke pendapatan tinggi dan bukan sebaliknya, pada kenyataannya saat ini Malaysia sudah menyiapkan dokter-dokternya yang akan dikirim ke Indonesia, Thailand sudah mempersiapkan diri dengan mempelajari Bahasa Indonesia, dan blue collar di Indonesia pun sudah mulai gencar belajar Bahasa Indonesia.
Wapres JK menjelaskan, pemerintah telah menyiapkan berbagai program menyambut MEA, di antaranya perbaikan infrastruktur untuk memudahkan industri, memperkuat ketahanan pangan untuk meminimalisir impor bahan pokok seperti beras dan jagung, juga meningkatkan industri manufaktur karena industri ini dirasa dapat meningkatkan penghasilan. Selain itu juga membuka lapangan pekerjaan.
Menteri Tenaga Kerja memang tengah membuat aturan menyambut MEA bahwa semua tenaga kerja asing di Indonesia harus bisa berbicara Bahasa Indonesia. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain di dunia atau bahasa daerah kita sendiri, Bahasa Indonesia relatif lebih mudah untuk dipelajari.
Jadi bukan hal yang sulit bagi tenaga-tenaga kerja terampil asing ini untuk mempelajari bahasa kita untuk keperluan berkomunikasi sehari-hari di lingkungan kerja.
Terus terang, peraturan masih terasa simpang siur. Bahkan kita belum memiliki standarisasi internasional, terutama untuk sektor pariwisata.
kesiapan swasta dan SME
Bagaimana kesiapan swasta dan SME?
Seperti yang sudah disampaikan di atas, sebenarnya kita memiliki kesempatan yang sama. Namun apakah swasta sudah siap, baik itu multinasional maupun lokal, apalagi SME?
Sejauh yang terlihat, masih banyak yang belum aware akan tingkat urgensi MEA. Perusahaan-perusahaan besar pun belum tentu modern, dalam artian seberapa update mereka akan MEA dan proyeksi jangka panjangnya. Belum kita berbicara SME, apalagi yang di luar Jakarta. Padahal cakupan MEA begitu luas, dan ketika sudah dibuka semua bebas.
Tentunya setiap perusahaan ingin yang terbaik untuk keberlangsungan dan pertumbuhan organisasinya. Mereka perlu menyusun perencanaan dan kebutuhan untuk menopang apa yang harus mereka capai. Jika kesempatan bekerja sudah dibuka secara bebas, setiap leader perlu menentukan ingin dibawa ke mana organisasinya.
Meski banyak pakar ekonomi mengungkapkan bahwa MEA dapat membuka peluang besar dan memberikan keuntungan bagi SME kita, namun tetap dibutuhkan sosialisasi top-down dari pemerintah karena masih banyak pengusaha yang belum memahami peluang tersebut. Para pakar menyebutkan pembicaraan baru terjadi di tataran pemerintahan dan belum diterjemahkan secara baik ke kalangan pengusaha.
Bagaimana kesiapan tenaga kerja kita?
Soal tenaga kerja, expat yang masuk adalah tenaga-tenaga terampil yang pastinya siap bersaing di kancah negara ASEAN.
Bagaimana dengan tenaga kerja kita? Pertanyaannya kemudian adalah berapa jumlah penduduk Indonesia usia produktif, dan berapa persen yang sudah benar-benar paham tentang MEA? Jangankan di level daerah, yang di Jakarta saja belum tentu semuanya tahu.
Perusahaan memang tentunya akan lebih memilih tenaga kerja Indonesia dibanding asing untuk bertumbuh bersama organisasinya. Namun terkadang tidak dapat dihindari, demi memenuhi kebutuhan atau obyektif perusahaan, mereka mau tidak mau meng-hire tenaga kerja asing.
Misalnya saja, jika perbedaan kemampuan tenaga kerja Indonesia dan asing hanya 10 persen, tentunya perusahaan masih akan memilih tenaga kerja Indonesia. Namun jika perbedaan tersebut hingga 50 persen, mau tidak mau harus memilih talent asing.
Jika ditanya apa saja kekurangan tenaga kerja kita, prioritas akan jatuh pada faktor bahasa, rasa percaya diri atau fighting spirit dan kemampuan “menjual diri.” Dari sisi kemampuan dan kompetensi sih tidak kalah. Bahkan di beberapa industri, tenaga kerja kita sangat unggul, seperti di industri pariwisata, kedokteran dan IT.
Perawat kita sampai dikirim ke luar negeri karena lebih telaten dibanding tenaga kerja asing. Namun masih kurang di faktor bahasa. Anak-anak muda kita pun sudah melek IT dan sangat kreatif, namun belum merata.
Memang pemerintah sudah memberlakukan peraturan bagi tenaga-tenaga asing yang akan masuk ke Indonesia, seperti misalnya tour guide dan HRD yang harus mengambil standar kompetensi Indonesia. Namun, bagaimana dengan standarisasi internasional bagi tenaga kerja kita? Misal bagi para driver dan tour guide di industri pariwisata, juga perawat yang punya chance besar dikirim ke luar negeri.
Industri infrastruktur yang sedang menjadi hot business saat ini mungkin akan merasakan dampak yang paling besar. Pasalnya, negara kita sedang menjalankan infrastructure development di setiap provinsi, padahal ketersediaan pakar asli Indonesia di bidang ini masih sangat minim. Misalnya saja para pakar untuk pembangunan MRT hanya tersedia di Jepang, China dan Eropa.
Advertisement
tips buat pekerja
Apa saja tips untuk tenaga kerja kita?
Pastinya persiapkan diri. Kalau sosialisasi pemerintah bisa berjalan dengan baik tahun ini, mungkin kita sudah bisa keep up dengan negara-negara lain di tahun kedua.
Tenaga-tenaga kerja kita sebaiknya membuka diri untuk segala kesempatan kalau ingin survive. Harus siap bersaing tidak hanya dengan rekan-rekan asal Indonesia namun juga expat. Harus disadari bahwa kompetisi sekarang semakin besar. Kalau dulu perusahaan berhati-hati saat ingin meng-hire expat, sekarang kesempatan itu terbuka bebas.
Selanjutnya, terus mengembangkan diri dan knowledge sehingga siap “tempur” tak hanya di Indonesia saja.
Potensi-potensi yang bisa kita unggulkan adalah dari industri jasa, pariwisata, oil and gas, dan kreatif. Sekarang e-commerce sedang “seksi,” web dan front-end developer kita tidak kalah dengan negara lain. Kita juga bisa berbangga dengan hasil kerajinan kita, seperti dari Bandung dan Bali.
Wapres mengingatkan, jika kita ingin memperbaiki neraca perdagangan di ASEAN, yang kita butuhkan adalah produktivitas. Salah satu dasar produktivitas tersebut adalah sumber daya manusia. (Vna/Ndw)