Liputan6.com, Magelang - Lokasi penemuan berbagai peninggalan purba di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Gendungan, Desa Kalibening, Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah, Mei 2016, disimpulkan sebagai tempat pemandian raja-raja jaman kuno. Di tempat itu terdapat bebatuan berbagai bentuk, mulai lumpang kuno, komboran (tempat minum kuda), hingga tumpukan batu yang membentuk seperti kolam.
Kesimpulan bahwa kawasan tersebut merupakan pemandian raja-raja, disampaikan Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah Tri Hartono. Kepada Liputan6.com, saat itu Tri menyebutkan bahwa benda-benda itu merupakan peninggalan kerajaan Mataram Kuno atau seusia dengan kerajaan besar di Jawa Tengah di abad ke 8-9.
Advertisement
"Perkiraan kami peninggalan masa klasik abad 8-9. Itu setara dengan masa kerajaan Mataram Kuno. Itu jika dilihat dari batu-batu yang ada," kata Tri Hartono di Semarang, Jateng, pada Rabu 18 Mei 2016 lalu.
Tiga bulan setelah temuan itu, bagaimana kondisi daerah tersebut?
Pemilik lahan ditemukannya benda-benda kuno, Sumarlan ternyata memilih memanfaatkan lokasi itu sebagai tempat tetirah (istirahat/wisata). Gazebo-gazebo kecil berbahan bambu dibangun, bahkan mata air di gundukan batu berbentuk konstruksi kolam juga sudah ditata lebih rapi.
Meski demikian, bebatuan kuno yang ada tidak dihilangkan dan malah dijadikan sebagai obyek tontonan. Belum diketahui pasti, apakah pemanfaatan lokasi tersebut atas pendanaan dari kakek 73 tahun itu, ataukah ada investor.
Menurut Tri Hartono, di lokasi itu memang sudah banyak kolam yang dikelola warga mayarakat sebagai kolam pembesaran ikan. Namun baru ini yang dijadikan sebagai tempat tetirah.
"Jika sesuai pemetaan, lokasi kompleks percandian itu merupakan lembah memanjang, dengan luasan sekitar 1 hektare. Di situ ada sumber mata air, ada banyak kolam yang sejauh ini sudah dimiliki oleh perorangan," kata Tri Hartono.
Albertus Kusworo, salah satu pengunjung dari Borobudur mengaku, kedatangannya untuk membuang jenuh. Ia memang sangat senang mengunjungi percandian di sekitar kabupaten Magelang.
"Tempatnya adem dan lebih tertata. Di sini memang sejak dulu dikenal sebagai Tamansari atau tempat pemandian para raja. Makanya warga sini menyebut dengan candi Tamansari," kata Kusworo kepada Liputan6.com, Jumat (5/8/2016).
Berdasarkan perkiraan BPCB, jika dioptimalkan Pemerintahan Desa Kalibening untuk merevitalisasi cagar budaya itu. Hanya saja ada sejumlah warga yang sudah membongkar sendiri benda-benda itu dari lokasi semula tanpa pendataan terlebih dahulu.
Hal ini dinilai cukup menyulitkan tim BPCB untuk merekonstruksinya kembali. Rekonstruksi itu penting sebagai upaya penelusuran dan mengetahui sejarah benda-benda itu.
"Saya sudah ingatkan untuk jangan membongkar dulu sebelum didata," kata Tri.
Bahaya kerusakan
Sementara itu, pemanfaatan situs bersejarah sebagai tempat tetirah cukup mengkhawatirkan. Sugiyono, salah satu warga di sekitar Kalibening menyebutkan jika pemanfaatan itu tak disertai edukasi dikhawatirkan bisa mengubah pola pikir yang awalnya petani dan menempatkan kerukunan sebagai nilai utama, akan bergeser menjadi lebih individualis.
"Selain itu jika ada investor yang masuk, dan lahan itu dijual, jelas warga hanya akan menjadi penonton. Kapital akan menjadi yang utama," kata Sugiyono.
Meski demikian, Sugiyono mengapresiasi pemanfaatan temuan itu sebagai upaya konservasi. Dengan dimanfaatkan, setidaknya tak akan ada pencurian batu-batu bersejarah untuk dijadikan pondasi rumah.
Saat ini berbagai temuan batu itu dikumpulkan sesuai bentuk dan susunan yang dipetakan oleh BPCB. Sedangkan untuk kolam yang dijadikan view tetirah, dibangun bentuk baru, namun lokasi dan mata air memanfaatkan yang sudah ada.