Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ekonomi Faisal Basri mengatakan, harga gula yang mahal membuat industri makanan dan minuman dalam negeri sulit berkembang dan tidak bisa bersaing dengan produk makanan dan minuman luar negeri.
Faisal mengatakan, saat ini harga gula di Indonesia jauh lebih mahal ketimbang harga gula di luar negeri. Padahal gula salah satu bahan pokok utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, karena itu pemerintah perlu menstabilkan harga gula.
"Gula kontributor ketiga terbesar yang menentukan kemiskinan, orang miskin untuk beras, rokok kretek sama gula. Orang miskin hanya bisa menikmati manisnya hidup dengan gula," kata Faisal, dalam diskusi tentang gula rafinasi, di Jakarta, Senin (8/8/2016).
Faisal melanjutkan, industri makanan dan minuman adalah industri yang paling banyak menggunakan gula sebagai bahan baku. Selama 2011-2015 industri tersebut tumbuh rata-rata 8,5 persen per tahunnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan gula meningkat seiring dengan peningkatan pertubuhan industri makanan dan minuman.
Baca Juga
Advertisement
Namun, hal tersebut tidak didukung dengan pasokan gula dengan harga murah. Menurut Faisal, solusi untuk menekan harga gula bisa dilakukan dengan menggunakan gula rafinasi, tetapi tidak semua industri yang bisa memanfaatkan gula tersebut.
Hal itu lantaran ada aturan yang ketat dalam penggunaan gula rafinasi, seperti gula rafinasi hanya boleh dipakai oleh industri makanan dan minuman dari distributor langsung, namun kebanyakan skala besar. Karena jika skala Industri Kecil Menengah (IKM) konsumsinya masih terbilang sedikit menyulitkan untuk impor.
"Harga gula terus naik, IKM terpuruk, dampak peningkatan harga gula terhadap kesejahteraan rumah tangga sering diabaikan karena dianggap tidak terlalu besar," tutur Faisal.
Faisal mengungkapkan, gula menjadi masalah pelik pada industri makanan dan minuman. Lantaran mengimpor gula dikenakan berbagai macam pajak, sehingga membuat biaya produksi membengkak.
Karena itu, tidak heran produsen makanan minuman dalam negeri lari membangun pabrik di luar negeri kemudian produksinya masuk ke Indonesia.
"Kalau impor gulanya kena bea masuk Rp 790 per kg , ditambah PPH bayar dibuka 2,5 persen, PPN 10 persen ujung-ujungnya kalau produksi makanan di Indonesia yang konten gulanya tinggi, kalau produksi di dalam negeri belengerlah," kata dia.
Faisal menuturkan, pemerintah harus mengubah pola pikir tentang gula rafinasi yang diduga bikin boros devisa. Padahal sebenarnya menghemat devisa karena membuat impor gula mentah sebagai bahan baku gula rafinasi lebih sedikit ketimbang gula putih. Dengan ada gula rafinasi dapat menciptakan nilai tambah, dan menyerap tenaga kerja.
"Gula rafinasi dianggap penghambur devisa, mana yang penghambur devisa impor gula putih dengan raw sugar. Raw sugar lebih murah membuat lapangan kerja," tutur Faisal. (Pew/Ahm)