Liputan6.com, Manila - Ferdinand Marcos selamanya akan dikenang sebagai diktator yang korup. Presiden ke-10 Filipina itu memerintah dengan tangan besi, menggunakan hukum darurat militer sebagai alat untuk menekan oposisi.
Bersama istrinya, Imelda, pria itu identik dengan keserakahan. Ia dituduh menggelapkan uang negara dan pinjaman dari luar negeri untuk kepentingan pribadi dan kroni-kroninya. Marcos meninggal dunia dalam pelariannya di Hawaii.
Jasadnya yang dibalsem dan ditempatkan di kotak kaca, kemudian dipamerkan di kampung halamannya Batac. Namun, Presiden Filipina Rodrigo Duterte memberikan lampu hijau untuk jenazah Marcos dikebumikan di makam pahlawan di Manila.
Keputusan tersebut memicu kontroversi, karena catatan masa lalu Marcos yang penuh cela.
Baca Juga
Advertisement
Duterte menambahkan, pemindahan jasad Marcos bisa berlangsung selama beberapa bulan. Ia mengatakan, protes atau demonstrasi yang menentang langkah itu dibolehkan, selama para pengendara jalan tak merasa terganggu.
Juru bicara Angkatan Darat Kolonel Benjamin Hao mengatakan, perwakilan keluarga Marcos telah mengunjungi lokasi di area Taguig untuk memilih lokasi makam sang diktator dan melakukan persiapan awal.
Seperti dikutip dari BBC, Senin (8/8/2016), kelompok sayap kiri mengatakan, sungguh tak pantas mengadakan pemakaman kenegaraan untuk seorang presiden yang dianggap bertanggung jawab atas ribuan pembunuhan, penyiksaan, dan penculikan yang dilakukan militer -- di mana sejumlah kasus belum terselesaikan.
Dari 40 ribu orang yang dimakamkan di makam pahlawan, sebagian besar dari kalangan militer. Namun, pihak angkatan bersenjata melarang keras sosok tercela dikebumikan di sana.
Marcos dan istrinya, Imelda berkuasa atas Filipina selama 20 tahun sebelum lebih dari satu juta orang turun ke jalan untuk menggulingkan mereka dalam sebuah gerakan yang dikenal sebagai People Power Revolution 1986.
Selain Marcos, Rodrigo Duterte juga mengaku akan memaafkan mantan Presiden Gloria Arroyo -- yang ditahan di rumah sakit militer. Perempuan kedua yang jadi pemimpin Filipina itu diperkarakan dalam kasus penerimaan suap dan penipuan dalam pemilu.
Aroyo menjadi Presiden Filipina pada 2001 hingga 2010.
"Aku akan mengizinkan pemakaman Marcos di taman makam pahlawan," kata Duterte setelah terpilih jadi presiden pada Mei 2016. "Bukan berarti dia adalah pahlawan, tapi karena ia adalah tentara."
Sementara untuk Arroyo, Duterte mengatakan, "Saya siap memberi pengampunan untuk Arroyo. Menurutku ia harus dibebaskan."
Pengampun dan Penghukum
Duterte bertindak sebagai pengampun untuk mantan pendahulunya. Namun, di sisi lain ia adalah penghukum.
Perang melawan narkoba yang dia gelorakan memicu kematian lebih dari 400 orang. Kecaman dan kritikan diarahkan pada tindakannya yang dinilai brutal itu.
Duterte bahkan terang-terangan mengumumkan para pejabat dan hakim yang diduga punya kaitan dengan obat-obatan terlarang. Para tertuduh diminta menyerahkan diri untuk menjalani investigasi.
Sebelum jadi presiden, pria bernama alias Digong itu adalah wali kota Davao, kota ketiga terbesar di Filipina. Pendekatan kerasnya dan komentar yang kontroversial membuatnya dijuluki 'The Punisher' -- penghukum.