Liputan6.com, Raqqa - Duduk di depan komputer canggih dan baru, mata fokus ke layar, Omar Omsen terlihat sebagai pegawai kantoran biasa. Sejumlah ponsel tergeletak di meja di dekatnya.
Hanya saja, kaus dan tenda yang mengelilingi Omsen dan bendera di dekatnya menjadikan petunjuk bahwa dia bukanlah pegawai biasa. Apalagi jika orang tahu tempat ia bekerja bukan di pusat kota, melainkan pusat perekrutan para tentara dan pengantin asing di Suriah.
Advertisement
Dilansir dari CNN, Rabu (10/8/2016), seperti ditayangkan dalam sebuah video, kala itu ia sedang menggarap sebuah rekaman propaganda, memuji para penyerang Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang di Paris pada Januari 2015.
Omsen alias Omar Diaby disebut-sebut sebagai militan ISIS super dari Prancis.
Lewat video serial yang ia "bintangi", Omsen menggunakan nama 19HH--untuk mengenang 19 pelaku penyerangan 11 September. Menurut otoritas Prancis, ia bertanggung jawab sebagai orang yang merekrut lebih dari 80 persen militan dan perempuan sebagai "pengantin" untuk bergabung bersama ISIS di Suriah dan Irak.
Videonya menggunakan efek layaknya film Hollywood, dikombinasikan dengan musik rap dan teori konspirasi demi merayu pemuda-pemudi Prancis.
Omsen yang berusia 41 tahun lahir di Senegal. Namun, ia pindah ke Prancis saat kecil dan tumbuh besar di Nice. Menurut media-media Prancis, ia menjadi radikal setelah menghabiskan hari-harinya di penjara.
Omsen pindah ke Suriah pada 2013 untuk menjadi katiba Prancis, atau pemimpin militan Prancis.
"Seluruh pemuda dan remaja putri menganggapnya seperti 'dewa'. ISIS ini layaknya sekte," kata Fouad El Bathy yang pernah melihat aksi Omsen dari dekat di Suriah.
"Ia membuatku berpikir bahwa dia dia adalah guru--semua orang memujanya," ucap El Bathy
El Bathy berada di Suriah untuk mencoba menyelamatkan adik perempuannya, Nora. Saat berusia 15 tahun, Nora kabur dari rumah bersama ribuan remaja Eropa lainnya.
Institute for Economics and Peace mengatakan, ada 25.000 hingga 30.000 tentara asing di Suriah, 21 persen berasal dari Eropa. Mereka pergi ke Irak dan Suriah pada 2011 dan 2015.
Secara terpisah, Direktur Intelijen Nasional AS James Clapper mengatakan angka itu kini bahkan lebih tinggi lagi. Pada Februari lalu, ia mengatakan kepada Senate Armed Services Committe, "Lebih dari 36.500 militan asing-- termasuk setidaknya 6.600 dari negara-negara Barat-- telah pergi ke Suriah... semenjak konflik dimulai pada 2012."
Kendati Prancis Selatan jauh dari zona perang, namun wilayah di mana Omsen tinggal, terutama di Nice, menjadi tempat perekrutan militan dan pengantin ISIS.
Imam lokal Baubekeur Berkri mengatakan, ia tahu siapa saja yang tertarik dengan kebohongan besar tentang surga ISIS.
"Mereka berubah dalam waktu sekejap, dalam beberapa minggu bahkan dalam beberapa hari. Ini seperti bom meledak... ISIS sangat luar biasa pandai merayu," kata Bekri.
"Mereka memilih orang yang rapuh dan membuat mereka semakin rapuh. Lantas menjanjikan surga kepadanya. Cara kerja ISIS adalah mengisolasi orang-orang ini dari masyarakat."
"Radikalisasi seperti virus... saat menginfeksi banyak orang, itu menjadi pandemik. Anda tak bisa menggunakan pil biasa untuk mengobatinya. Anda perlu upaya lebih keras lagi," ujar Bekri.
Namun, alih-alih menyelesaikan masalah, Prancis kini masih dalam status negara dalam keadaan bahaya semenjak teror pada November tahun lalu. Negara itu makin dicap sebagai pemasok militan.
Menurut angka terakhir yang diteliti oleh Kementerian Dalam Negeri Prancis, warga negaranya yang menjadi militan naik 13 persen dari 6 bulan lalu. Ada 2,147 warga Prancis yang terlibat sebagai militan pada data bulan Juli 2016.
Dari jumlah itu, 187 tewas, 680 sudah berada di Suriah dan Irak, 179 sedang transit dan ada 203 kembali ke Prancis.
Yang mengejutkan, menurut data Europol, angka presentasi yang naik justru perempuan. Mereka bergabung bersama ISIS untuk menjadi pengantin.
"Sayangnya, militan atau pengantin perempuan memiliki kesempatan lebih sedikit untuk kembali ke Prancis dibanding dengan pria," tutur Europol.
Pengantin Jihad
Saat Nora menghilang dari rumah mereka di Avignon dua tahun lalu, keluarga tak punya ide ke mana ia pergi.
"Saat itu pukul 18.30 dan 19.30 ia tak jua berada di rumah," kenang El Bathy.
"Kami semua khawatir karena ini bukan kebiasaan Nora. Ia selalu pulang ke rumah tepat waktu dan mengerjakan tugas sekolahnya sepulang ke rumah," El Bathy menjelaskan.
Ia pun segera melakukan pencarian besar-besaran adik bungsunya itu.
"Aku pergi ke tetangga, dan tak ada tanda darinya. Aku pergi ke stasiun kereta api, dia tak ada di sana. Di pusat kota, pun tak ada.... Aku menelepon rumah sakit, klinik, tak ada berita. Bahkan berangkat ke stasiun polisi. Tak ada tanda-tanda Nora," ucap El Bathy.
Namun, tiba-tiba beberapa minggu kemudian, Nora menegur El Bathy di Facebook, mengatakan, "Halo apa kabar?"
"Aku lantas mengatakan, 'apa maksudmu apa kabar? Aku tidak baik-baik saja! Kamu di mana?'"
Dia menjawab, "Aku di Suriah. Aku akhirnya membantu warga Suriah.'"
Saat itu keluarga El Bathy kaget.
"Adik perempuanku berkata seakan-akan dia sedang berada di surga, seakan ia telah meraih tujuan hidupnya. Ibu kami sampai pingsan."
Tak butuh waktu lama kalau ternyata Nora dirayu oleh si militan super Osman.
"Aku mendengar Omar Omsen di media, tak tahu siapa dia. Dan saat diwawancarai jurnalis, ia menyebut Nora. Ia mengatakan seakan-akan adiku adalah anak perempuannya sendiri," kata El Bathy.
Semenjak saat itu ia memutuskan untuk mencari Nora. Segala risiko ia ambil dengan pergi ke Suriah, membawa adik bungsunya kembali pulang ke Prancis.
Saat El Bathy tiba di Suriah, ia menumpang bak terbuka yang menyetir gila-gilaan.
"Aku kira aku mau mati. Aku melihat Kalashnikov di sisi kananku. Seumur hidup aku tak pernah melihat senjata sedekat itu," tutur El Bathy.
Di sana, ia sempat dirayu untuk berjihad oleh seorang pria bernama Abu Khalid.
Dan proses rayuan tak berhenti hingga ia akhirnya menemukan markas Omsen. "Aku merasa ia mencoba memanipulasiku. Apa yang ia katakan terlalu berlebihan," kata El Bathy.
Di Mata-matai
Akhirnya El Bathy diperbolehkan mengunjungi Nora, tapi sambil ditemani Omsen.
"Kami berjalan ke rumah di mana Nora tinggal. Aku sempat mampir membeli permen untuknya, karena ia suka permen. Di tengah jalan, Omsen berkata, 'Aku menyayangi adikmu seperti milikku sendiri. Karena aku, dia tidak dinikahkan dengan militan."
"Saat masuk ke kamar di mana Nora disekap, ia langsung memelukku, menciumku. Menangis dan tersenyum. Aku berkata, 'ayo pulang', namun ia berkata, 'tidak bisa, tidak bisa'. Ia membuat gerakan kepala ke arah tembok. Di situ aku mengerti, ada CCTV memonitor kami. Ia ingin kembali, tapi Omsen melarangnya."
El Bathy, yang bekerja untuk program deradikalisasi, memfilmkan perjalanannya ke Suriah dalam sebuah kamera tersembunyi. Ia mengatakan menghabiskan waktu berhari-hari bersama pengikut Omsen dan kaget ternyata Nora bukan yang paling muda.
"Ada 50 anak saat aku di sana, mereka berusia 5 hingga 10 tahun. Dan mereka datang dari berbagai belahan dunia."
Namun El Bathy tak diperbolehkan lebih lama melihat Nora. Saat memberikan 200 euro dan sebuah telepon kepada Nora, mereka menyitanya.
El Bathy mengaku beruntung karena ia bisa keluar hidup-hidup.
Kendati kini El Bathy berani menceritakan kisahnya, Omsen dan propaganda mesinnya masih bekerja, merayu pria dan perempuan untuk bekerja menjanjikan surga di Suriah...
Advertisement