Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyatakan defisit neraca jasa Indonesia banyak disebabkan oleh sektor maritim. Bahkan sektor ini menyumbang 80 persen defisit tersebut.
Direktur Eksekutif Kebijakan Moneter Yudha Agung mengungkapkan, pada 2013 neraca jasa Indonesia mengalami defisit US$ 13 juta. Sedangkan pada 2015, meski telah menurun namun masih terhitung tinggi yaitu US$ 8,3 juta. "Defisit neraca jasa 80 persen disumbang dari sektor maritim," ujar dia di Batam, Kepulauan Riau, Kamis (11/8/2016).
Yudha mengungkapkan, ada beberapa hal yang menyebabkan defisit ini begitu besar. Terbesar yaitu sewa kapal asing yang menyumbang defisit hingga 40 persen. "Kemudian leasing kapal asing, asuransi kapal gunakan asuransi asing, sewa crane dan lain-lain," kata dia.
Yudha juga menyatakan, sulit untuk memperbaiki defisit neraca jasa ini. Meski demikian diharapkan ke depannya defisit ini bisa berkurang. "Defisit sudah berlangsung bertahun-tahun. Bagaimana meng-address supaya neraca jasa berkurang. Sulit untuk surplus, tapi paling tidak bisa berkurang," tandas dia.
Baca Juga
Advertisement
Sedangkan secara keseluruhan, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo pada 13 Mei 2016 lalu menyatakan bahwa neraca pembayaran Indonesia mengalami defisit pada kuartal I 2016 disebabkan oleh transaksi modal keuangan yang tidak cukup menutupi defisitnya transaksi berjalan.
"Kita kelihatannya di kuartal I ini terjadi overall balance yang negatif dan kita melihat itu sebagai hal yang wajar karena memang ada transaksi berjalan yang defisit dan transaksi modal keuangan yang tidak cukup menutup defisit transaksi berjalan," kata Agus. Kondisi neraca pembayaran Indonesia akan terus mengalami perbaikan. Jadi secara rata-rata neraca pembayaran Indonesia mengalami surplus sepanjang 2016.
"Neraca pembayaran terjadi sedikit negatif overall tapi secara tahunan tahun 2016 diperkirakan akan positif," ujar Agus.
Agus melanjutkan, untuk neraca perdagangan juga akan mengalami surplus sepanjang 2016. Hal tersebut disebabkan penurunan impor yang lebih besar ketimbang penurunan ekspor.
"Trade balance yang bisa kita terus jaga positif itu memang ada faktor penurunan import yang lebih dalam dari penurunan eksport tapi kita liat bahwa neraca pembayaran tadi," tutur Agus. (Dny/Gdn)