Liputan6.com, Yogyakarta - Pameran foto bertajuk Mengenang Djogjakarta Ibukota Negara Republik Indonesia di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) 11-20 Agustus 2016 tidak sekadar memamerkan foto lawas. Banyak foto bersejarah yang dipamerkan ternyata tidak pernah terpublikasikan.
"Foto-foto yang dipamerkan tidak semuanya pernah terpublikasikan, bahkan bisa dibilang foto-foto dari buku ini banyak yang berbeda dengan foto yang sekarang kerap dimunculkan," ujar kurator BBY Hermanu di Yogyakarta, Kamis malam 11 Agustus 2016.
Ia mengatakan, beberapa foto yang dimaksud adalah foto presiden pertama Sukarno dan Jenderal Sudirman yang berpelukan di Jakarta. Di belakang Sudirman saat itu adalah Soeparjo Rustam sang ajudan.
Baca Juga
Advertisement
Hermanu bercerita, adegan dalam foto itu ternyata diambil lebih dari satu kali. Dari foto lain dalam adegan yang sama terlihat ada istri Sudirman, Alfiah yang berada di belakangnya.
Tak sekadar foto. Ada cerita di balik adegan itu.
"Usut punya usut ternyata ketika itu Sudirman tampak ogah-ogahan berpelukan dengan Sukarno, sehingga presiden meminta foto diambil ulang," tutur dia.
Ogah-ogahan itu, dia menjelaskan, disebabkan karena mereka berdua memiliki pandangan berbeda tentang bentuk perjuangan. Sukarno dengan diplomasi dan Sudirman dengan perang gerilyanya.
Yang lain yang menimbulkan tanda tanya adalah foto Sukarno berpose dengan istri ke-empatnya Hartini dan sepasang anak kecil. Menurut dia, foto yang diambil saat ibu kota RI di Yogyakarta itu membuat banyak orang menerka di mana keberadaan Fatmawati kala itu.
Tidak hanya itu, yang diketahui selama ini Hartini memiliki dua anak laki-laki. Sehingga foto anak laki-laki dan perempuan di gendongan Sukarno dan Hartini menjadi misteri.
Hermanu menuturkan, pameran foto ini juga banyak mengekspose kedekatan Sukarno dan Sultan HB IX. Bahkan di salah satu caption foto itu tertulis orang kuat pertama dari Yogya.
Ada pula foto bapak penerbang Indonesia Adisutjipto dalam bentuk wajah yang lebih jelas.
"Terlihat wajahnya Jawa, kalau yang selama ini dipublikasikan di buku lebih mirip berwajah bule," ucap Hermanu.
Demikian juga dengan pemakaman Adisutjipto yang diabadikan dalam jepretan kamera. Di sana tertera bernama Hadi Sutjipto, namun dalam perjalanannya nama pahlawan itu menjadi Adisutjipto.
Dia mengklaim, foto-foto sejarah yang dipamerkan memang bersumber dari satu buku. Tetapi buku ini bisa dipercaya sebagai salah satu sumber sejarah mengingat diterbitkan pada 1950.