Liputan6.com, Jakarta - Rencana pemerintah merevisi PP No 90 Tahun 2012 tentang hilangnya syarat remisi kepada koruptor yang menjadi justice collaborator menuai polemik.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah juga harus memerhatikan sisi kemanusiaan. Sedangkan, remisi diberikan atas penilaian perbaikan sikap selama di berada di lapas.
Advertisement
"Gunanya remisi sebenarnya, intinya agar mereka itu memperlihatkan disiplin, merasa katakanlah bertobat dari sisi moral atau berkelakuan baik. Itulah syarat remisi itu," kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (12/8/2016).
"Nah persoalannya kalau pembunuh saja bisa (mendapat remisi), kemudian koruptor tidak bisa diberikan reward karena disiplinnya, karena kelakuan baiknya, tentu juga kita terjadi diskriminatif," ujar JK.
Tak bisa dipungkiri, korupsi memang masuk dalam kejahatan luar biasa yang berdampak pada masyarakat luas. Tapi kejahatan lainnya bukan berarti tidak memiliki efek besar di masyarakat.
"Jadi kita lihat dari sisi kemanusiaan, kalau dia tobat berkelakuan baik, makin baik dia punya perilaku, ya bukan lihat lagi dari sisi apa yang dia buat, karena ringan beratnya hukuman kan sudah ada undang-undangnya, sudah ada pengadilannya," jelas JK.
Berat atau ringan hukuman yang diterima koruptor, kata JK, sudah diputuskan di pengadilan. Setelah hukuman itu, seharusnya semua narapidana diperlakukan sama, termasuk soal remisi.
"Kalau memang korupsi itu kejahatan besar maka hukumannya juga tinggi, tapi setelah dia di dalam mustinya juga sisi kemanusiannya sudah sama," JK memungkas.