Liputan6.com, Jakarta - Empat terpidana mati mengaku belum menggunakan hak hukum mereka dalam secarik kertas yang diberikan kepada rohaniwan pendamping mereka. Namun Jaksa Agung M Prasetyo menegaskan pelaksanaan eksekusi mati jilid III sudah sesuai prosedur.
Menurut Prasetyo, mereka telah menggunakan haknya. Memang, pengajuan grasi mereka masih dalam proses. Namun, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi pembatasan pengajuan grasi, tidak berlaku surut.
"Saya katakan detik-detik terakhir (ajukan grasi), tanyakan ke MK berlaku surut atau tidak, putusan MK tidak berlaku surut. Jadi putusan yang sudah inkracht dan grasi tidak diajukan, kita tetap laksanakan," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (12/8/2016).
Karena itu, dia heran dengan pernyataan empat terpidana mati asal Nigeria tersebut. Terlebih, grasi baru diajukan jelang pelaksanaan eksekusi mati.
"Empat terpidana itu bikin pernyataan tidak mengajukan grasi," ujar Prasetyo.
Dalam Putusan bernomor No 107/PUU-XII/2015, MK memutuskan, permohonan grasi merupakan hak prerogatif presiden yang tidak dibatasi waktu pengajuannya karena menghilangkan hak konstitusional terpidana.
Advertisement
Sebelumnya, UU No 2/2002 mengatur grasi paling lama diajukan satu tahun setelah putusan tetap.
Beberapa waktu lalu, Komnas HAM menerima laporan dugaan tidak sahnya pelaksanaan hukuman mati oleh Kejaksaan Agung terhadap terpidana yang masuk dalam daftar eksekusi tahap III.
"Terlapor ada tiga, Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), dan jaksa eksekutor di Nusakambangan 29 Juli 2016," ujar Boyamin Saiman selaku pengacara terpidana mati Su'ud Rusli di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis 11 Agustus 2016.
Jaksa Agung M Prasetyo dianggap telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi No 107/PUU-XIII/2015 yang menyatakan jaksa selaku eksekutor harus sangat hati-hati karena menyangkut nyawa seseorang dan berkaitan erat dengan hak asasi manusia.
Boyamin melaporkan tidak sahnya eksekusi tersebut lantaran tiga terpidana yang sudah dihukum mati, yaitu Freddy Budiman, Seck Osmane, dan Humprey Ejike tengah menggunakan haknya berdasarkan UU No 5 Tahun 2010 atas perubahan UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
Kejaksaan Agung telah mengeksekusi empat terpidana mati kasus narkoba. Mereka dieksekusi di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat 29 Juli 2016 dinihari.
Keempat terpidana mati yang telah dieksekusi tersebut yakni:
1. Humphrey Ejike alias Doctor (Nigeria)
Humphrey merupakan otak dari peredaran gelap narkoba oleh sindikat narkoba di Depok, pada 2003. Ia ditangkap atas kepemilikan dan memperjualbelikan 1,7 kilogram heroin.
2. Seck Osmane (Senegal)
Osmane tertangkap tangan memiliki 2,4 kilogram heroin di sebuah apartemen di Jakarta Selatan. Ia pun divonis hukuman mati oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juli 2004.
3. Freddy Budiman (Indonesia)
Freddy merupakan pengedar narkoba yang cukup gesit. Pasalnya, setelah tertangkap pada 2009 karena kepemilikan 500 gram sabu, ia kembali kedapatan menyimpan ratusan gram sabu pada 2011. Belum habis masa tahanannya, lagi-lagi ia tersangkut kasus narkoba di Sumatera. Bahkan, di balik jeruji besi, Freddy masih mengatur peredaran narkoba.
4. Michael Titus Igweh (Nigeria)
Michael divonis hukuman mati lantaran terlibat dalam jaringan narkotika internasional. Ia kedapatan memiliki heroin seberat 5,8 kilogram dan ditangkap pada 2002.