Liputan6.com, Jakarta - ‘Dan aku berani mengatakan mas Tom adalah suami yang romantis. Mas Tom adalah seorang Pahlawan dan sekaligus pecinta besar’
Itulah penggalan surat pengakuan Sulistina, istri Sutomo atau yang akrab disapa Bung Tomo yang dikutip dari ‘Bung Tomo Suamiku’, sebuah buku yang berisi ragam cerita kehidupan Bung Tomo bersama Sulistina.
Advertisement
Bung Tomo, pria kelahiran Surabaya 3 Oktober 1920 ini menjadi tokoh penting di balik perlawanan arek-arek Suroboyo dalam pertempuran ‘Battle of Surabaya’ melawan agresi pasukan sekutu yang dimotori Inggris dan ditunggangi Belanda pada 10 November 1945.
Dengan pidato heroik yang membakar semangat para pemuda-pemudi Surabaya, Bung Tomo mampu membangkitkan semangat juang warga Surabaya melawan agresi sekutu. Target sekutu menguasai Surabaya dalam tempo tiga hari pun tak tercapai. Para penjajah itu bahkan harus kehilangan jenderal perangnya. Brigadir Jenderal Mallaby tewas dalam sebuah pertempuran dengan para pejuang Surabaya pada 30 Oktober 1945.
Di balik sosoknya yang heroik, tegas dan cenderung keras, Bung Tomo ternyata mempunyai sisi kelembutan luar biasa. Dia dikenal sangat romantis kepada istrinya. Sejak menikahi Sulistina pada 19 Juni 1947, pria yang dijuluki Jenderal Kancil oleh Bung Karno itu, selalu memperlakukan belahan jiwanya itu dengan kelembutan.
Berbagai macam panggilan sayang diberikan kepada Sulistina, salah satunya adalah Tiengke. Dalam setiap surat yang dikirimkan kepada sang istri, Bung Tomo selalu menyebut Sulistina dengan, Tieng adikku sayang, Tieng bojoku sing denok debleng, Dik Tinaku sing ayu dewe, Tieng istri pujaanku, dan masih banyak lagi.
Bung Tomo juga selalu membukakan pintu mobil untuk istrinya setiap kali bepergian. Kebiasaan yang selalu dilakukan sepanjang kehidupan mereka.
Di awal pernikahan, romantisme Bung Tomo diperlihatkan dengan mengganti lampu kamar dengan lilin. Ini dilakukan setelah persyaratan pantang hubungan suami isteri selama 40 hari usai. Sebagaimana di petuahkan orang-orang tua di masa itu, dalam keadaan perang pemimpin pasukan yang menikah wajib menunda hubungan suami isteri hingga 40 hari. Dan ini dipenuhi pasangan Sutomo - Sulistina.
“Mas Tom juga memberikan buku Kamasutra yang menjabarkan bagaimana seorang istri melayani seorang suami,” kata Sulistina.
Sebagai pejuang dan tokoh pergerakan kemerdekaan, Bung Tomo banyak menghabiskan waktunya di medan pertempuran. Hidupnya banyak dihabiskan dengan berpindah-pindah tempat. Ini membuatnya jarang berkumpul dengan keluarga. Meski begitu, rasa sayang dan rindu kepada sang isteri tak pernah terlupakan.
Tiap malam Jumat Bung Tomo selalu bermimpi bertemu istrinya. Luapan rindu pun dia tuangkan dalam sebuah puisi:
Istriku
Bersih, kasih, murni
Kau datang
Sedang aku seorang
Mengenang diri
Kau ajak
Aku berhak
Melepas tirta suci!
Pelukmu
Ciummu
Membakar
Berkobar
Tubuhku
Tergetar
Istriku, aku puas
Meskipun hiburanmu...
Terbatas!
Pudak, malam hari
5 Mei 1949
Jakarta-Malang
Seiring perjalanan bangsa yang memasuki masa damai pada 1950-an, perjuangan Bung Tomo tak lagi di medan pertempuran. Jejak kaki di hutan dan lumpur-lumpur sungai sudah ditinggalkan. Partai politik pun bermunculan bagai jamur pada musim hujan.
Pada masa ini, waktu Bung Tomo banyak dihabiskan untuk mondar mandir Malang-Jakarta mengurus partainya, Partai Rakyat Indonesia. Bung Tomo menjadi sangat sibuk dengan berbagai macam kegiatan partai. Namun, ini pun tak membuatnya lupa dengan isterinya yang tinggal di Malang. Surat-surat untuk Sulistina terus mengalir. Romantis dan bersemangat.
“Tanda cintanya berupa surat-surat penuh kasih mesra banyak sekali. Hingga kini masih kusimpan untuk obat pelipur sedih,” aku Sulistina.
Kemesraan juga selalu ditunjukkan Bung Tomo setiap ada kesempatan berdua. Saat buah hati mereka tidur, Bung Tomo kerap mengajak Sulistina jalan-jalan ke bioskop. Tidak hanya di satu bioskop, tapi beberapa bioskop sekaligus.
"Setelah film selesai, kita melanjutkannya dengan pergi jalan kaki ke gedung bioskop lain untuk melihat film juga. Kita bercakap-cakap dan ketawa-ketawa, serasa dunia ini milik kita berdua," ujar Tien seperti dikutip dalam buku 'Bung Tomo Suamiku'.
Cinta yang sangat besar terhadap sang istri ini membuat Sulistina begitu terharu. Bahkan, satu hal yang membuat istrinya menangis terenyuh adalah ketika dia membuka dompet Bung Tomo setelah beliau meninggal di tanah suci Mekah, pada 7 Oktober 1981. Foto Sulistina yang tersenyum dengan tulisan 'iki bojoku' atau ini istriku tersimpan rapi di dompet tersebut. Di foto lain yang disimpan Bung Tomo juga tertulis, 'Tien istri Tomo'.
Cinta Sulistina terhadap suaminya masih begitu besar meski kini sang suami telah tiada. Sulistina masih menulis surat kepada sang suami menceritakan segala hal yang dialaminya, meski ia tahu bahwa suaminya sudah tidak bersamanya lagi dan tidak bisa membaca suratnya lagi.
Advertisement
Cinta Bersemi di Tengah Desing Peluru
Kisah cinta Sutomo atau Bung Tomo dengan Sulistina atau Tien bermula saat Tien muda memutuskan ikut bergabung di baris depan melawan penjajah yang hendak menguasai Kota Surabaya.
Hari itu, 11 November 1945, Tien yang bergabung dengan Palang Merah Indonesia (PMI) berangkat ke Surabaya dari Malang tempatnya tinggal bersama orangtuanya. Setibanya di kota Pahlawan, Sulistina yang datang bertiga dengan gadis lainnya, tinggal di sebuah rumah keluarga Bandarkoem pegawai DKA di Tembok Dukuh, tak jauh dari markas Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), tempat Bung Tomo biasa mengatur strategi melawan penjajah.
Suatu pagi, seorang pemuda yang tak dikenalnya dengan setelan dril ala Jepang dan peci hijau tiba-tiba mendatangi Tien dan mengatakan: "Jeng, kita pindah markas. Kita mundur di jalan Mawar. Di sini tak aman lagi. Keadaan gawat dan Palang Merah juga harus pindah".
Kalem dan diiringi pandangan matanya yang tajam, pemuda itu menyampaikan omongannya. Sulistina tak kuasa menjawab, dia hanya mampu mengangguk. Sulistina tak menyadari siapa sosok pemuda tersebut sampai akhirnya temannya memberi tahu bahwa itu adalah Bung Tomo.
Itulah kali pertama Sulistina bertemu dan mendengar langsung suara Bung Tomo. Ya, pria bermata bulat yang mendatanginya itu adalah sosok yang pidato heroiknya biasa dia dengar di radio setiap sore.
Tak ada komunikasi lagi sesudah itu, keduanya kembali berkutat dengan aktifitas masing-masing di garis depan pertempuran.
Pada 1 Januari 1946, Sulistina kembali dikejutkan dengan sapaan hangat sang orator. Waktu itu, dia bersama teman wanita dan adik perempuan Bung Tomo tengah membaca-baca majalah hasil klipingan yang dikumpulkan bersama teman-temannya.
"Apa yang dibaca jeng," suara Bung tomo tiba-tiba sambil mengambil majalah yang dibaca Sulistina.
Seakan ingin mencari kekuatan, Sulistina berusaha mencari dua temannya yang menemani sebelumnya, namun ternyata keduanya telah menghilang.
"Jeng Lies apa sudah ada yang punya," tanya si Bung lagi.
"Sudah" spontan jawab Sulistina.
"Betul? Siapa orangnya?" ujar Bung Tomo dengan wajah kecut.
"Siapa dia yang begitu bahagia?" tanya Bung Tomo lagi.
"Ayah," jawab Sulistina lirih.
Sontak jawaban itu membuat wajah Bung Tomo kembali berbinar. "Ternyata Jeng Lies bisa melucu." Bung Tomo pun menggenggam tangan Sulistina.
Bung Tomo mengaku dirinya telah tersihir dengan sosok Sulistina sejak pandangan pertama di Markas Tembok Dukuh.
"Wajah Jeng selalu terbayang. Seperti wajah Jeng menempel di mataku. Jeng Lies adalah gadis lain daripada yang lain," ujar Bung Tomo seperti dikutip dari buku 'Bung Tomo Suamiku'
Bung Tomo mengaku tergila-gila dengan sosok Sulistina yang tak silau dengan ketenaran Bung Tomo saat itu. Pada hari itu juga dia menegaskan janjinya untuk tidak akan mengecewakan sosok yang akhirnya menjadi pendamping hidupnya hingga akhir hayat.
"Tangan Bung Tomo menggenggam tanganku. Saat saat yang syahdu dan indah...Dia tak memerlukan jawabku sebab dari aliran darah yang mengalir, dia tahu jawabanku adalah 'Ya'," ucap Sulistina.