Liputan6.com, Magelang - Desa Ketangi, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah selalu berhawa sejuk. Maklum, lokasinya di kaki Gunung Sumbing, Jawa Tengah. Siapa sangka, sebuah bukit di desa itu menyimpan jejak-jejak peradaban purba misterius.
Oleh warga setempat perbukitan itu disebut Bukit Payung. Bukit dengan ketinggian di atas 1000 meter dari permukaan air laut ini, di titik tertentu terdapat sekumpulan batu. Di antara batu-batu itulah menyelip sebuah gua tersembunyi yang disebut warga dengan Omah Watu (rumah batu).
Untuk menuju gua itu harus melewati jalan menanjak yang sudah diperkeras dengan beton, dilanjutkan jalan setapak. Menurut Kepala Desa Ketangi Alfian Isnad, keberadaan Omah Watu itu meski jarang didatangi warga, namun tetap dijaga.
"Apalagi sampai saat ini belum pernah ada penelitian sejarah, arkeologi, geologi dan sejenisnya. Kami meyakini gua itu adalah sebuah jejak sejarah," kata Alfian kepada Liputan6.com, Minggu (14/8/2016).
Baca Juga
Advertisement
Bukan hanya warga desa Ketangi yang meyakini bahwa Omah Watu adalah sebuah jejak peradaban, Widodo Waluyo warga kecamatan Muntilan juga mempercayai keyakinan warga setempat. Ia mengaku sudah beberapa kali datang dan melihat lokasi di Bukit Payung.
"Awalnya cuma penasaran karena ada teman yang cerita. Setelah melihat, saya mencoba belajar ciri-ciri peradaban hindu kuno," kata Widodo.
Omah Watu adalah sebuah ruangan, berukuran 5 x 6 meter. Untuk masuk ke ruangan harus melalui celah batu. Mulut gua itu sendiri tidak luas, dan di depannya dihalangi sebuah batu besar yang seperti sengaja diletakkan disana. Sebuah batu dengan tekstur halus, seperti bekas sebuah pintu terlihat sudah ambruk di dekat mulut gua.
Sebagai gantinya, ada beberapa batu besar dan kecil seperti disusun untuk menutupi mulut gua. Di sekitar mulut gua itu, ada beberapa batu besar dengan tekstur halus. Di bebatuan itu, terdapat relief dua dimensi.
Relief-relief dua dimensi itu bergambar wayang. Ukirannya kasar. Relief-relief itu ada di bebatuan besar sepanjang beberapa ratus meter di pinggiran jalan setapak menuju mulut gua. Coretan dengan spidol maupun cat menunjukkan bahwa kawasan itu sering disinggahi anak-anak muda yang masih suka corat-coret.
"Sejak saya kecil, batu-batu berukir itu sudah ada. Kami dulu kalau main sampai omah watu itu. Setelah saya jadi kepala desa, masih belum tahu siapa yang membuat relief itu," kata Alfian.
Di ruangan sekitar 5x6 meter itu terdapat beberapa batu yang disusun rapi seperti meja. Alfian menduga batu ini adalah semacam altar pemujaan. Di sekitar altar pemujaan itu, terdapat semacam kubangan atau bak air berukuran 4x2 meter, juga dari batu. Di dalam bak air itulah terdapat batu seperti lingga yang tertancap pada batu lain seperti yoni.
Anehnya, air dalam bak itu sangat jernih dan keluar dari sebuah batu. Batu itu memiliki cekungan yang mengeluarkan air dan mengalir mengisi bak tersebut.
"Anehnya, ini kan dari batu, nggak menyerap air. Tapi air ini nggak pernah meluber. Namun juga tak pernah surut. Airnya mengalir terus lho, lihat saja," kata Alfian sambil menunjukkan keluarnya air itu.
Batu-Batu Aneh
Ketika berada di dalam bilik berukuran 5x6 meter itu, bagian atas yang menjadi atap terlihat bebatuan dengan lapisan yang terlihat jelas. Seperti batuan serpinit yang berwarna kehijauan dan berwarna-warni.
"Itu yang di luar bentuknya malah sudah seperti batu besar diiris. Meski tak serapi di Borobudur, namun kelihatan kalau bentuk balok itu seperti hasil olahan tangan," kata Widodo melengkapi penjelasan Alfian.
Widodo layak heran karena Bukit Payung memang jauh dari gunung berapi. Bebatuan berbentuk balok itupun berserakan dan sebagian besar terkubur tanah dan tertutup rumput.
Belum Pernah Diteliti
Menurut Alfian, keberadaan gua itu sejak dulu belum pernah diteliti oleh para ilmuwan. Sejarawan, arkeolog, geolog atau dari disiplin ilmu manapun disebutnya belum ada yang meneliti gua.
Menurutnya, relief dua dimensi bergambar wayang yang banyak berserakan itu jika melihat gaya pahatannya, sangat berbeda dengan pahatan yang berada di percandian. Lebih sederhana dan tidak dalam.
"Mungkin saja itu pahatan baru orang iseng. Tapi sejak bapak ibu saya kecil, relief itu sudah ada," kata Alfian.
Alfian maupun Widodo seperti halnya warga desa Ketanggi, meyakini bahwa bebatuan, gua dan hal-hal aneh lainnya itu sebagai jejak peradaban. Hanya saja memang tidak diketahui, setua apa peradaban yang diyakini.
Advertisement
Jalur Purba Bawah Tanah
Sekitar 500 meter dari Omah Watu, terdapat bebatuan aneh yang oleh warga disebut Watu Sisik. Watu sisik berupa batuan tegak dengan ketinggian sekitar 100 meter. Tekstur batuan menyerupai sisik ikan gurami yang teratur dan rapi. Namun saat ini masih tertutup semak dan pepohonan.
Kemudian ada pula lesung batu yang disebut Watu Lumpang. Berbentuk seperti Lumpang Batu. Demikiaan pula dengan Watu Tumpang yang berjarak beberapa kilometer dari lokasi Omah Watu.
"Semua itu saya kira merupakan satu rangkaian petunjuk. Tapi sekali lagi belum ada yang meneliti," kata Alfian.
Sementara itu Widodo Waluyo menceritakan bahwa ketika berada di dalam Omah Watu, ada sebuah celah di mana jika dimasuki akan bertemu dengan ruangan yang cukup besar. Dinding-dinding ruangan itu juga ada goresan relief dua dimensi, baik bergambar wayang maupun tak berbentuk.
"Ruangannya besar, sebesar lapangan sepakbola. Yang pernah memasuki ruangan itu mbah Roji, sesepuh desa Ketangi," kata Widodo.
Widodo mengaku tidak berani memasuki ruangan itu. Selain gelap, ia juga tak yakin dengan pasokan oksigen, karena berada di perut bukit. Namun Widodo meyakini bahwa ruangan besar itu sebenarnya semacam terminal menuju ke ruangan lain.
"Barangkali ada jalur purba bawah tanah," kata Widodo.
Selain itu warga desa Ketangi juga meyakini, bahwa gua Omah Watu tersebut merupakan pintu masuk jalur purba hingga ke Suroloyo, sebuah tempat petilasan dan tempat bertapa Sultan Agung Hanyokrokusumo atau Raden Mas Rangsang dari Kesultanan Mataram.