Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha listrik yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) mengingatkan pemerintah jika cadangan batu bara di dalam negeri tidak akan cukup menghidupi pembangkit listrik di proyek 35 ribu Megawatt (MW) ke depan. Sebab menurut penelitian, komoditas ini akan habis pada 2035.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Harian APLSI Arthur Simatupang di Jakarta, Senin (15/8/2016). Sebab itu, pengembang utamanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sangat mengkhawatirkan kondisi ini ke depan.
“Pengembang PLTU khawatir akan jaminan ketersediaan pasokan batu bara yang cukup untuk kelangsungan Program 35 GW,” ujar Arthur dalam keterangannya.
Baca Juga
Advertisement
Menurut dia, kekhawatiran ini akan berpengaruh pada semangat pengembang menggarap proyek 35 ribu MW. Kekhawatiran pihaknya ini bukan tanpa alasan. Sebab berdasarkan penelitian, komoditas ini akan habis pada 2035.
Sedangkan, kontrak PPA PLTU berumur 25 tahun. Artinya, ke depan, Indonesia harus mengimpor batu bara guna memenuhi kebutuhan pembangkit listrik 35.000 MW.
“Ada hasil kajian bersama Asosiasi Pertambangan Batubara (APBI) dan PricewaterhouseCoopers (PwC) mengindikasikan cadangan batu bara kita tinggal 8,3 miliar ton pada 2015,” dia menjelaskan.
Arthur mengatakan, dengan mengacu pada harga komoditas saat ini, komoditas ini tidak akan cukup untuk memasok 18 GW PLTU dan akan habis pada 2035.
Di sisi lain, usia Power Purchasing Agreement (PPA) PLTU cukup panjang yakni 25 tahun. ”Kondisi ini berarti kurang dari 20 tahun dibanding umur kontrak PPA PLTU yaitu 25 tahun,” imbuh dia.
Sejalan dengan itu, Sekjen APLSI Priamanaya Djan mengatakan, terancamnya pasokan batu bara ini disebabkan antara lain penurunan cadangan batu bara.
Sebab, eksplorasi untuk menemukan cadangan baru relatif terhenti ditambah lagi adanya perubahan rencana penambangan dengan menurunkan stripping ratio (SR) untuk perbaikan profit perusahaan.
Habisnya cadangan ini membuat Indonesia harus melakukan impor ba tubara ke depan. “Setelah batu bara habis maka berakibat pada krisis ketahanan nasional, dimana opsi satu-satunya yang harus dilakukan adalah mengimpor batubara,” ungkap Pria yang juga Sekjen BPP Hipmi ini.
Dia menambahkan, impor batu bara ini akan menimbulkan ketidakpastian baru dan berisiko bagi PLTU yakni adanya potensi pembatasan kuota dan menciptakan permainan harga melalui agen penentu harga.
“Akibatnya harga akan menjadi lebih tinggi dan akan membebani PLN dan Pemerintah, serta masyarakat, jika tidak disubsidi,” pungkas Pria.
Selain itu, potensi kuota impor juga akan menimbulkan ketidakpastian pasokan yang akan berimbas pada ketidakpastian pendapatan PLTU.
Apabila jumlah batu bara yang disuplai ke PLTU tidak mencapai kebutuhan sebenarnya untuk menghasilkan daya listrik sesuai contract capacity PPA, maka terjadi potensi kerugian investasi bagi pengembang IPP (independent power producer).
“Tentu ini harusnya akan menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menalangi potensi kerugian pengembang. Di sisi lain impor batubara tentunya juga akan menyebabkan hilangnya penerimaan negara dari royalti batubara dan income tax dari perusahaan batubara yang tidak berproduksi,” pungkas Pria.
Sebab itu, dalam kajian tersebut menyebutkan, konsep price insurance premium dinilai dapat mengantisipasi krisis kebutuhan batu bara.
Penetapan harga batu bara atas dasar harga tertentu dapat menjamin kebutuhan batu bara PLTU selama 25 tahun. “Meskipun harga price insurance premium tersebut saat ini lebih tinggi dibandingkan harga pasar batubara saat ini, namun dalam jangka panjang dapat mengurangi ketidakpastian suplai yang dapat berimbas pada harga batubara yang lebih tinggi di masa yang akan datang,” tutup Pria. (Nrm/Ndw)