Liputan6.com, Jakarta:
Kalau aku jadi orang dermawan,
itu karena ayahku yang mengajarkan.
Kalau aku jadi orang toleran,
itu karena ayahku yang menjadi panutan.
Kalau aku jadi orang beriman,
itu karena ayahku yang menjadi imam.
Kalau aku jadi orang yang rendah hati,
itu karena ayahku yang menginspirasi.
Kalau aku jadi orang yang cinta kasih,
itu karena ayahku yang memberi tanpa pamrih.
Kalau aku membuat puisi ini,
itu karena ayahku yang rendah hati.
Enam larik puisi bertajuk "Karena Ayahku" itu dibacakan penuh keharuan oleh Inayah Wulandari, putri bungsu Kiai Haji Abdurrahman Wahid, saat tahlilan mendiang ayahandanya di bilangan Ciganjur, Jakarta Selatan, Selasa malam silam. Linangan air mata dari Inayah Wahid pun membuat banyak orang dari ribuan hadirin tak kuasa turut sedu sedan.
Masih diselimuti keharuan mendalam, Inayah berucap: "Ini puisi yang saya buat untuk bapak tiga bulan yang lalu dan saya bacakan di depan bapak. Tapi bapak tidak berkomentar. Tidak bilang bagus, juga tidak bilang jelek. Seperti biasanya bapak," ujarnya mengenang, seperti dikutip banyak jurnalis yang hadir.
Sekalipun ketika itu sang ayah atau akrab disapa banyak orang Gus Dur tak memberi komentar, hal ini tak membuat Inayah kecewa. "Yang terpenting buat saya, saya telah menyampaikan puisi saya. Saya tahu pasti bapak senang mendengarnya," ucapnya.
Malam yang sama tapi di tempat berbeda, Zannubah Arifah Chafsoh yang juga merupakan putri mendiang presiden keempat Indonesia tersebut mengingatkan tiga pesan ayahnya kepada puluhan ribu hadirin dalam peringatan tujuh hari wafatnya Gus Dur. "Banyak hal yang dapat dijadikan suri tauladan dari Gus Dur, sehingga Gus Dur menjadi dekat di hati banyak orang dan akhirnya banyak orang yang merasa kehilangan," kata wanita yang akrab disapa dengan panggilan Yenny Wahid di hadapan massa yang membanjiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
"...Ada tiga pesan Gus Dur yang perlu kita teladani, yakni keikhlasan, ilmu dan akhlak, serta berani menegakkan keadilan," kata Yenny, jurnalis perempuan yang sekarang aktif sebagai politisi.
Dukacita memang bukan milik keluarga Gus Dur. Tak terhitung elemen bangsa yang merasa kehilangan. Mulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat maupun mantan pejabat, tokoh agama hingga anak sekolah turut menundukkan kepala. Terutama, saat prosesi pemakaman mantan presiden sekaligus tokoh Nahdlatul Ulama itu dikebumikan di pemakaman Pesantren Tebuireng, bersebelahan dengan pusara ayah dan kakeknya yang masing-masing adalah tokoh maupun pendiri NU.
Bendera setengah tiang selama tujuh hari dan gelar Bapak Pluralisme pun mengiringi kepergian Gus Dur yang disegani oleh kawan maupun lawannya itu. Semasa hidup, lelaki kelahiran Jombang 4 Agustus 1940 itu memang banyak menyumbangkan gagasan maupun pemikiran terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pun demikian kiprah Gus Dur di panggung politik nasional. Sebut saja di antaranya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1984-1998), Ketua Forum Demokrasi (1990), dan menduduki kursi RI 1 (mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001) [baca: Dari Guru, Jurnalis, Hingga Jadi Presiden].
Kiprah mantan Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994) itu pun diakui kalangan internasional. Buktinya, pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, Paus Benediktus XVI, mengirimkan surat belasungkawa. Surat dari Vatikan ini kemudian dibacakan Romo Benny Susetyo dalam acara tahlilan tujuh hari wafatnya Gus Dur, Selasa lalu.
Dan tak bisa dipungkiri, kini sepekan lebih setelah kepergian Gus Dur, dukungan agar mantan presiden itu dijadikan pahlawan nasional terus bergulir. Bermula dari usulan sejumlah tokoh maupun ulama NU di beberapa daerah di Tanah Air. Mereka mengusulkan agar pemerintah Indonesia untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur. Penganugerahan tersebut bertujuan untuk mengenang kebesaran Gus Dur sebagai tokoh nasional.
Usulan serupa pun digagas banyak tokoh maupun politisi seperti Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Sukarnoputri. Tak ketinggalan dukungan dari dunia maya. Di situs jejaring sosial seperti Facebook pun digalang dukungan untuk pemberian gelar pahlawan nasional bagi Gus Dur.
Namun, di mata budayawan Emha Ainun Nadjib, Gus Dur lebih dari sekadar pahlawan. Pandangan ini disampaikan Emha alias Cak Nun saat hadir dalam peringatan tujuh hari wafatnya Gus Dur di Pesantren Tebuireng, Jombang. Bagi Cak Nun, mantan presiden ini adalah sosok yang hebat, dekat, dan sangat dihormati.
Usulan gelar pahlawan bagi Gus Dur juga ramai dibicarakan para wakil rakyat di Senayan. Belakangan, Partai Golongan Karya pun turut mendukung dengan syarat almarhum mantan Presiden Soeharto juga digelari Pahlawan Nasional. "Saya juga mengusulkan Presiden Soeharto untuk diangkat jadi Pahlawan Nasional," kata Nudirman Munir dari Fraksi Partai Golkar, Senin silam.
Hanya saja, usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional selalu menimbulkan pro dan kontra. Para aktivis antikorupsi menyatakan tak setuju dengan alasan proses hukum kasus korupsi Soeharto tak pernah tuntas. Selain itu mereka yang pernah tertindas selama masa pemerintahan Soeharto juga tentu menentang usulan ini.
"Memang ada syarat dalam undang-undang yang menghambat Soeharto, yaitu ada kasus hukum yang belum terselesaikan dan itu tidak boleh ada," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD usai acara Charta Politika Award, Senin lalu. Mantan Menteri Pertahanan di era Gus Dur ini mengakui, pengajuan usulan pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto sudah dilayangkan. Namun, pengajuan usulan itu menemui kendala di tengah jalan.
Kendati demikian, menurut mantan politisi Partai Kebangkitan Bangsa, hambatan hukum penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto itu tidak dialami Gus Dur. Untuk Buloggate yang pernah menggulingkan Gus Dur dari kursi presiden, itu bukan kasus hukum. "Kalau Gus Dur tidak ada kasus hukum. Buloggate itu kasus politik. Kalau politik tidak jadi penghalang, tapi kalau kasus hukum jadi masalah," tandas Mahfud.
Adanya usulan agar Gus Dur sebagai pahlawan nasional mendapat tanggapan dari keluarga besar Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Sebelum dijadikan sebagai pahlawan nasional, mereka meminta agar nama baik presiden keempat Republik Indonesia itu dikembalikan lebih dulu.
"Nama baik Gus Dur dikembalikan dulu, karena dulu dilengserkan," jelas Gus Hakam Malik, sepupu Gus Dur. Sekadar menyegarkan ingatan, Abdurrahman Wahid dilengserkan oleh MPR, 24 Juli 2001. Saat itu, Ketua MPR Amien Rais, dan Ketua DPR Akbar Tandjung. Gus Dur dilengserkan sebagai presiden terkait kasus "Buloggate" dan "Brunaigate".
"Yang bertanggung jawab mengembalikan nama baik gusdur dari kursi presiden adalah Ketua MPR, yang saat itu dipegang Amien Rais, dan Ketua DPR Akbar Tanjung," imbuh Gus Hakam. Malah, jelas Gus Hakam, setelah terjadi tiga kali pergantian presiden, kasus "Buloggate" dan "Brunaigate" masih belum terungkap.
Penyelesaian masalah politik seperti itu memang pelik, mungkin perlu kearifan banyak pihak. Hanya saja, ada satu kendala lain yang mungkin menghambat. Ternyata, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 menyebutkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada seseorang bisa dilakukan setelah mendapat masukan dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dan masalahnya, dewan tersebut belum terbentuk.
Boleh jadi, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai solusi terhadap kendala aturan perundang-undangan tersebut. Apalagi, Kamis pekan ini, Badan Musyawarah (Bamus) DPR akan membahas usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. "Sudah diagendakan, akan dibicarakan dalam rapat Bamus," kata Ketua DPR Marzuki Alie.
Marzuki mengatakan, pembahasan usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada almarhum Gus Dur dilakukan karena ada usulan dari sejumlah fraksi DPR. Yaitu, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Tentunya, hasil pembahasan Bamus DPR dinantikan banyak pihak. Terutama, kalangan yang merasa kehilangan Bapak Bangsa nan humoris tersebut [baca: Tujuh Hari Perginya Guru Bangsa].
Pepatah lama mengatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan jasa para pahlawannya. Kalaupun ada yang masih mempersoalkan kepahlawanan Gus Dur, mungkin waktu dan pena sejarah jualah yang akan menjawabnya. Dan, seolah masih terngiang jelas ucapan paling populer Gus Dur bila tindakan maupun langkahnya dipertanyakan orang, yaitu: "Gitu aja kok, repot!"(ANS/dari berbagai sumber)
Kalau aku jadi orang dermawan,
itu karena ayahku yang mengajarkan.
Kalau aku jadi orang toleran,
itu karena ayahku yang menjadi panutan.
Kalau aku jadi orang beriman,
itu karena ayahku yang menjadi imam.
Kalau aku jadi orang yang rendah hati,
itu karena ayahku yang menginspirasi.
Kalau aku jadi orang yang cinta kasih,
itu karena ayahku yang memberi tanpa pamrih.
Kalau aku membuat puisi ini,
itu karena ayahku yang rendah hati.
Enam larik puisi bertajuk "Karena Ayahku" itu dibacakan penuh keharuan oleh Inayah Wulandari, putri bungsu Kiai Haji Abdurrahman Wahid, saat tahlilan mendiang ayahandanya di bilangan Ciganjur, Jakarta Selatan, Selasa malam silam. Linangan air mata dari Inayah Wahid pun membuat banyak orang dari ribuan hadirin tak kuasa turut sedu sedan.
Masih diselimuti keharuan mendalam, Inayah berucap: "Ini puisi yang saya buat untuk bapak tiga bulan yang lalu dan saya bacakan di depan bapak. Tapi bapak tidak berkomentar. Tidak bilang bagus, juga tidak bilang jelek. Seperti biasanya bapak," ujarnya mengenang, seperti dikutip banyak jurnalis yang hadir.
Sekalipun ketika itu sang ayah atau akrab disapa banyak orang Gus Dur tak memberi komentar, hal ini tak membuat Inayah kecewa. "Yang terpenting buat saya, saya telah menyampaikan puisi saya. Saya tahu pasti bapak senang mendengarnya," ucapnya.
Malam yang sama tapi di tempat berbeda, Zannubah Arifah Chafsoh yang juga merupakan putri mendiang presiden keempat Indonesia tersebut mengingatkan tiga pesan ayahnya kepada puluhan ribu hadirin dalam peringatan tujuh hari wafatnya Gus Dur. "Banyak hal yang dapat dijadikan suri tauladan dari Gus Dur, sehingga Gus Dur menjadi dekat di hati banyak orang dan akhirnya banyak orang yang merasa kehilangan," kata wanita yang akrab disapa dengan panggilan Yenny Wahid di hadapan massa yang membanjiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
"...Ada tiga pesan Gus Dur yang perlu kita teladani, yakni keikhlasan, ilmu dan akhlak, serta berani menegakkan keadilan," kata Yenny, jurnalis perempuan yang sekarang aktif sebagai politisi.
Dukacita memang bukan milik keluarga Gus Dur. Tak terhitung elemen bangsa yang merasa kehilangan. Mulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat maupun mantan pejabat, tokoh agama hingga anak sekolah turut menundukkan kepala. Terutama, saat prosesi pemakaman mantan presiden sekaligus tokoh Nahdlatul Ulama itu dikebumikan di pemakaman Pesantren Tebuireng, bersebelahan dengan pusara ayah dan kakeknya yang masing-masing adalah tokoh maupun pendiri NU.
Bendera setengah tiang selama tujuh hari dan gelar Bapak Pluralisme pun mengiringi kepergian Gus Dur yang disegani oleh kawan maupun lawannya itu. Semasa hidup, lelaki kelahiran Jombang 4 Agustus 1940 itu memang banyak menyumbangkan gagasan maupun pemikiran terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pun demikian kiprah Gus Dur di panggung politik nasional. Sebut saja di antaranya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1984-1998), Ketua Forum Demokrasi (1990), dan menduduki kursi RI 1 (mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001) [baca: Dari Guru, Jurnalis, Hingga Jadi Presiden].
Kiprah mantan Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994) itu pun diakui kalangan internasional. Buktinya, pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, Paus Benediktus XVI, mengirimkan surat belasungkawa. Surat dari Vatikan ini kemudian dibacakan Romo Benny Susetyo dalam acara tahlilan tujuh hari wafatnya Gus Dur, Selasa lalu.
Dan tak bisa dipungkiri, kini sepekan lebih setelah kepergian Gus Dur, dukungan agar mantan presiden itu dijadikan pahlawan nasional terus bergulir. Bermula dari usulan sejumlah tokoh maupun ulama NU di beberapa daerah di Tanah Air. Mereka mengusulkan agar pemerintah Indonesia untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur. Penganugerahan tersebut bertujuan untuk mengenang kebesaran Gus Dur sebagai tokoh nasional.
Usulan serupa pun digagas banyak tokoh maupun politisi seperti Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Sukarnoputri. Tak ketinggalan dukungan dari dunia maya. Di situs jejaring sosial seperti Facebook pun digalang dukungan untuk pemberian gelar pahlawan nasional bagi Gus Dur.
Namun, di mata budayawan Emha Ainun Nadjib, Gus Dur lebih dari sekadar pahlawan. Pandangan ini disampaikan Emha alias Cak Nun saat hadir dalam peringatan tujuh hari wafatnya Gus Dur di Pesantren Tebuireng, Jombang. Bagi Cak Nun, mantan presiden ini adalah sosok yang hebat, dekat, dan sangat dihormati.
Usulan gelar pahlawan bagi Gus Dur juga ramai dibicarakan para wakil rakyat di Senayan. Belakangan, Partai Golongan Karya pun turut mendukung dengan syarat almarhum mantan Presiden Soeharto juga digelari Pahlawan Nasional. "Saya juga mengusulkan Presiden Soeharto untuk diangkat jadi Pahlawan Nasional," kata Nudirman Munir dari Fraksi Partai Golkar, Senin silam.
Hanya saja, usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional selalu menimbulkan pro dan kontra. Para aktivis antikorupsi menyatakan tak setuju dengan alasan proses hukum kasus korupsi Soeharto tak pernah tuntas. Selain itu mereka yang pernah tertindas selama masa pemerintahan Soeharto juga tentu menentang usulan ini.
"Memang ada syarat dalam undang-undang yang menghambat Soeharto, yaitu ada kasus hukum yang belum terselesaikan dan itu tidak boleh ada," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD usai acara Charta Politika Award, Senin lalu. Mantan Menteri Pertahanan di era Gus Dur ini mengakui, pengajuan usulan pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto sudah dilayangkan. Namun, pengajuan usulan itu menemui kendala di tengah jalan.
Kendati demikian, menurut mantan politisi Partai Kebangkitan Bangsa, hambatan hukum penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto itu tidak dialami Gus Dur. Untuk Buloggate yang pernah menggulingkan Gus Dur dari kursi presiden, itu bukan kasus hukum. "Kalau Gus Dur tidak ada kasus hukum. Buloggate itu kasus politik. Kalau politik tidak jadi penghalang, tapi kalau kasus hukum jadi masalah," tandas Mahfud.
Adanya usulan agar Gus Dur sebagai pahlawan nasional mendapat tanggapan dari keluarga besar Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Sebelum dijadikan sebagai pahlawan nasional, mereka meminta agar nama baik presiden keempat Republik Indonesia itu dikembalikan lebih dulu.
"Nama baik Gus Dur dikembalikan dulu, karena dulu dilengserkan," jelas Gus Hakam Malik, sepupu Gus Dur. Sekadar menyegarkan ingatan, Abdurrahman Wahid dilengserkan oleh MPR, 24 Juli 2001. Saat itu, Ketua MPR Amien Rais, dan Ketua DPR Akbar Tandjung. Gus Dur dilengserkan sebagai presiden terkait kasus "Buloggate" dan "Brunaigate".
"Yang bertanggung jawab mengembalikan nama baik gusdur dari kursi presiden adalah Ketua MPR, yang saat itu dipegang Amien Rais, dan Ketua DPR Akbar Tanjung," imbuh Gus Hakam. Malah, jelas Gus Hakam, setelah terjadi tiga kali pergantian presiden, kasus "Buloggate" dan "Brunaigate" masih belum terungkap.
Penyelesaian masalah politik seperti itu memang pelik, mungkin perlu kearifan banyak pihak. Hanya saja, ada satu kendala lain yang mungkin menghambat. Ternyata, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 menyebutkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada seseorang bisa dilakukan setelah mendapat masukan dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dan masalahnya, dewan tersebut belum terbentuk.
Boleh jadi, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai solusi terhadap kendala aturan perundang-undangan tersebut. Apalagi, Kamis pekan ini, Badan Musyawarah (Bamus) DPR akan membahas usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. "Sudah diagendakan, akan dibicarakan dalam rapat Bamus," kata Ketua DPR Marzuki Alie.
Marzuki mengatakan, pembahasan usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada almarhum Gus Dur dilakukan karena ada usulan dari sejumlah fraksi DPR. Yaitu, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Tentunya, hasil pembahasan Bamus DPR dinantikan banyak pihak. Terutama, kalangan yang merasa kehilangan Bapak Bangsa nan humoris tersebut [baca: Tujuh Hari Perginya Guru Bangsa].
Pepatah lama mengatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan jasa para pahlawannya. Kalaupun ada yang masih mempersoalkan kepahlawanan Gus Dur, mungkin waktu dan pena sejarah jualah yang akan menjawabnya. Dan, seolah masih terngiang jelas ucapan paling populer Gus Dur bila tindakan maupun langkahnya dipertanyakan orang, yaitu: "Gitu aja kok, repot!"(ANS/dari berbagai sumber)