Liputan6.com, Jakarta - Damayanti Wisnu Putranti menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor, dalam kasus dugaan suap proyek jalan di Maluku dan Maluku Utara dalam Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dalam sidang ini, dia sempat meneteskan airmatanya.
Eks Anggota Komisi V DPR itu menangis saat teringat anaknya di rumah. Di hadapan Majelis Hakim Sumpeno, Damayanti berkeluh kesah karena terjerat dalam kasus ini.
Advertisement
"Anak saya empat. Paling kecil 4,5 tahun," kata Damayanti di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin 15 Agustus 2016.
Damayanti mengatakan jika dirinya dihukum atas kasus ini, dia tidak bisa melihat perkembangan dan pertumbuhan putrinya. Apalagi, selama menjalani proses hukum ini, buah hatinya diasuh sang nenek.
"Eyang putrinya sudah berusia 70 tahun. Kasihan eyang putrinya," keluh dia sambil terisak.
Karena itu, Damayanti berharap, majelis mempertimbangkan hal itu sebagai keringanan dalam memberikan vonis nanti. Selain itu, dia juga berharap agar permonohannya menjadi justice collaborator (JC) disetujui majelis hakim.
"Saya mohon pengajuan JC saya dipertimbangkan. Saya sudah konsisten dengan BAP saya. Dan saya berharap dikabulkan oleh hakim," ucap eks politikus PDIP itu.
Sementara, Ketua Majelis Hakim Sumpeno belum bisa memastikan apakah akan menerima atau menolak usulan JC Damayanti. Dia berkaca dari Abdul Khoir yang mengajukan JC, namun diberi label oleh jaksa sebagai otak pelaku suap.
'Jual Beli' Dana Aspirasi
Dalam sidang kali ini, Damayanti juga mengungkapkan adanya dugaan 'jual beli' dana aspirasi antara Komisi V dan Kementerian PUPR. "Saya baru setahun di Komisi V, istilah (dana aspirasi) itu sudah ada," ucap dia.
Soal dana aspirasi proyek jalan di Maluku berujung suap ini, menurut dia, ada rapat tertutup antara pimpinan Komisi V dan Kementerian PUPR. Rapat tertutup yang diistilahkan dengan rapat 'setengah kamar' itu dilakukan di ruang Sekretariat Komisi V.
Dalam rapat tertutup itu, menurut Damayanti, terdapat 'jual beli' dana aspirasi. Maksudnya, jika keinginan pimpinan Komisi V soal pagu anggaran dana aspirasi ditolak Kementerian PUPR, maka pimpinan Komisi V tidak akan menyetujui Rancangan APBN yang diajukan kementerian yang dipimpin Basuki Hadimoejono tersebut.
Sebaliknya, jika diterima maka pimpinan Komisi V akan memuluskan RAPBN yang diajukan Kementerian PUPR. "Rapat setengah kamar. Ada persetujuan Rancangan APBN. Kalau permintaan Komisi V tidak diterima, maka pimpinan tidak mau tanda tangan (RAPBN), tidak mau lanjutkan RDP (Rapat Dengar Pendapat). Itu yang saya tahu dari hasil rapat tertutup itu," ucap Damayanti.
Dari situ pula muncul dugaan jatah-jatah nilai pagu anggaran yang bisa dinegosiasikan anggota Komisi V DPR untuk program aspirasi. Kata Damayanti, anggota Komisi V mendapat nilai pagu sebesar Rp 50 miliar. Sedangkan untuk pimpinan Komisi V sebanyak Rp 450 miliar.
"Ada kesepakatan, anggota dapat jatah aspirasi Rp 50 miliar ternyata jatah pimpinan Rp 450 miliar," ujar dia.
Damayanti mengungkapkan, dalam rapat tertutup 'setengah kamar' itu dihadiri pihak Kementerian PUPR, di antaranya Sekretaris Jenderal Taufik Widjojono, Kabiro Perencanaan dan Anggaran Hasanuddin.
Kemudian dari pihak pimpinan Komisi V, di antaranya Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Hanura Fauzi Amroh, Kapoksi PKB Mohamad Toha, serta Wakil Ketua Komisi V Lazarus, dan Michael Wattimena dan Ketua Komisi V Fahri Prancis.
"Kalau anggota komisi tidak dilibatkan dalam rapat tertutup itu," ujar Damayanti.
54 anggota Komisi V DPR Terlibat
Damayanti juga menyebutkan, ada 54 anggota Komisi V DPR ikut mengusulkan program aspirasi di 11 wilayah Balai Pembangunan Jalan Nasional (BPJN) Kementerian PUPR.
Di antaranya proyek jalan di Maluku dan Maluku Utara pada Kementerian PUPR yang berujung suap. Kata Damayanti, bukan dirinya saja yang mengusulkan dan mendapat dana aspirasi tersebut.
"Mengenai aspirasi dari Kementerian PUPR, sebanyak 54 anggota Komisi V dapat, jadi bukan saya sendiri," ujar Damayanti.
Menurut Damayanti, program aspirasi yang diusulkan semua anggota Komisi V DPR rutin dilakukan kepada Kementerian PUPR. Sebab, antara pimpinan Komisi V DPR dengan pejabat di Kementerian PUPR sebelumnya sudah ada kesepakatan dalam 'rapat setengah kamar'.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa eks Anggota Komisi V DPR Damayanti Wisnu Putranti menerima suap sebesar Rp 8,1 miliar. Uang pelicin itu diterima dari Direktur PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir.
Suap ini diberikan kepada mantan politikus PDIP tersebut secara terpisah, dengan rincian SGD 328 ribu, 1 miliar dalam bentuk dolar Amerika Serikat, dan SGD 404 ribu.
Tujuan uang itu diberikan agar Damayanti mengusahakan proyek pembangunan jalan di Provinsi Maluku dan Maluku Utara, masuk dalam program aspirasi Komisi V DPR yang dicairkan melalui Kementerian PUPR.
Atas perbuatannya, Damayanti didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.