Liputan6.com, Jakarta - Perempuan itu tak mengeluh saat majikannya menyuruhnya kerja minimal 18 jam sehari, bangun tengah malam untuk mengurus bayi, tak boleh bicara dengan siapapun. Ia tak melawan saat paspornya ditahan, gajinya yang sebesar US$ 150 dolar per bulan tak dibayarkan, atau ketika badannya yang kurus dipukuli, menjadi sasaran pelampiasan emosi. Tiga tahun sudah Ima Matul Maisaroh menderita fisik dan batin di negeri orang, Amerika Serikat.
Ima selalu ingin kabur. Namun kekerasan demi kekerasan dan ancaman yang ia terima membuatnya jeri. Majikannya selalu berkata, sekali ia dia lari maka polisi akan menangkapnya dan menjebloskannya ke penjara. Ia tak punya tempat untuk pergi, tak ada uang, tak punya siapa pun. Hingga suatu hari, nuraninya memberontak. Cukup!
Advertisement
Lewat secarik kertas, perempuan asal Desa Gondanglegi, Malang, itu mencari pertolongan. "Please help me," kalimat itu tertera di sana.
Berbekal kenekatan dan Bahasa Inggris yang minim, Ima memberanikan memberikan kertas itu ke tetangganya, saat mereka bertemu di muka rumah. "Awalnya saya ragu, jangan-jangan nanti mereka malah melapor ke majikan saya," kata dia dalam wawancara dengan Liputan6.com.
Namun, kekhawatirannya tak terbukti. Tetangga itu ternyata orang baik. Mereka menyampaikan masalah yang dialami Ima ke Coalition to Abolish Slavery and Trafficking (CAST). "Berkat mereka, saya bisa diselamatkan," tambah Ima.
Dari CAST pula, Ima akhirnya sadar bahwa selama tiga tahun bekerja di Negeri Paman Sam, ia telah menjadi korban perdagangan manusia.
Tentu saja bukan siksaan dan kekerasan yang diharapkan Ima saat ia memutuskan bekerja di Amerika Serikat pada 1997 silam. Tawaran ke AS datang ketika ia sedang menanti panggilan kerja di Hong Kong.
Awalnya, Ima merasa gembira bisa bekerja di Los Angeles, pada majikan yang berasal dari Indonesia. Apalagi, lidah perempuan desa itu pun tak harus "keseleo" bicara bahasa Inggris.
"Saya terima dengan gembira, saya tidak pernah bayangkan apa itu Amerika. Jadi tawaran itu, saya terima. Mereka semua urus segalanya, paspor, visa," tutur Ima.
Jadi Aktivis hingga Penasihat Presiden Obama
Setelah diselamatkan oleh CAST, Ima memutuskan untuk balas budi. Ia yang sebelumnya menjadi korban memutuskan bergabung dengan organisasi anti-perdagangan manusia itu.
Ia juga mengasah ilmunya dan keterampilan berbahasa Inggris, dan akhirnya menjadi pendampingan penyintas (survivor) perbudakan manusia di AS.
Yang mengejutkan, angka korban perbudakan dan perdagangan manusia di Negeri Paman Sam itu cukup tinggi. Tiap tahunnya, menurut Ima ada sekitar 45 ribu - 50 ribu, itu pun yang terkuak.
Tenaga mereka diperas habis-habisan. Mulai dari jadi pembantu rumah tangga, pelayan hotel, buruh pertanian, hingga pekerja seks komersial. Korban yang dijadikan PSK secara paksa ternyata paling banyak terjadi kasusnya di AS.
Keprihatinan itu membuat Ima beserta CAST menyodorkan petisi kepada Presiden AS Barack Obama terkait isu tersebut.
Obama ternyata setuju. Sang presiden bahkan menunjuk 11 penyintas perdagangan manusia untuk menjadi penasihat di Gedung Putih. Ima adalah salah satunya.
"Sampai sekarang, posisi kami sebagai penasihat Obama di White House hingga 2017," kata Ima.
Sosok Ima dan segala sepak terjangnya menjadi perhatian publik di Amerika Serikat, juga Indonesia, saat perempuan itu diundang untuk menjadi pembicara dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat, yang mengusung Hillary Clinton sebagai calon presiden AS.
Dalam ajang tersebut, Ima bicara soal perbudakan manusia. Meski telah membuat bangga diaspora Indonesia, Ima mewanti-wanti kepada para pengejar mimpi American Dreamer.
"Amerika itu tidak seperti apa yang digambarkan di televisi, banyak homeless di sini. Mereka bilang, gaji besar, iya, tapi pengeluaran juga besar," pesan Ima.
Penasaran dengan kisah perempuan asal Indonesia ini? Saksikan rekaman wawancara Liputan6.com dengan Ima Matul Maisaroh berikut ini.