Liputan6.com, Rio de Janeiro - Atlet lari asal Afrika Selatan, Caster Semenya, tengah menjadi perbincangan hangat. Pasalnya, orang-orang menganggapnya tak pantas mengikuti lomba lari 800 meter kategori putri di Olimpiade 2016. Apa yang memicu perdebatan tersebut?
Semenya memiliki kadar testosteron tiga kali lebih banyak dari yang ditemukan pada wanita normal --hampir mendekati laki-laki. Perempuan berusia 25 tahun tersebut juga tak memiliki rahim atau indung telur. Sebaliknya, ia memiliki testis internal karena kelainan kromosom.
Advertisement
Hal tersebut dialami Semenya karena mengidap hiperandrogenisme, yang mengakibatkan tubuhnya memproduksi dan menyerap hormon laki-laki secara berlebih.
Walaupun Semenya mengindentifikasi dirinya sebagai seorang perempuan, namun dunia kedokteran menggambarkannya sebagai interseks atau hermaprodit.
Dengan keadaan fisik yang lebih maskulin, apakah adil jika Semenya berkompetisi sebagai perempuan? Pertanyaan tersebut yang membuat kemunculannya di Olimpiade Rio de Janeiro 2016 menimbulkan dilema etik.
Dikutip dari Daily Mail, Selasa (16/8/2016), sejumlah orang mungkin menganggap perbedaannya sebagai salah satu bentuk semangat Olimpiade: kesetaraan. Namun kenyataannya, dengan kelebihan hormon testosteron, ia memiliki keuntungan dibanding dengan rival perempuan lainnya.
Atas alasan itu, dalam kompetisi olaharaga pria dan wanita harus dipisah, karena kedua jenis kelamin ini memiliki kemampuan fisik yang berbeda.
Jika Semenya tak diperbolehkan berkompetisi dalam regu putri, maka muncul anggapan bahwa hal itu sebagai bentuk diskriminasi atas kondisi yang bukan merupakan kesalahannya. Namun jika ia tetap berlomba, muncul ketakutan bahwa atlet interseks akan mendominasi olahraga perempuan.
Beberapa orang pun berkomentar atas hal tersebut. Salah satunya dokter dan penasihat isu gender pada Komite Olimpiade Internasional, Joanna Harper.
"Aku percaya bahwa tak beralasan untuk menyatakan bahwa setengah dari delapan wanita di perlombaan lari 800 m merupakan interseks," ujar Harper.
"Dan tampaknya tak mungkin terdapat tiga wanita diduga interseks akan menyapu bersih podium," imbuhnya.
Konsumsi Obat untuk Menekan Kadar Testosteron
Ketika International Association for Athletics Federations (IAAF) mengeluarkan peraturan yang meminta atlet wanita dengan kadar testosteron berlebih mengonsumsi obat untuk menurunkan kadarnya pada 2011, dunia olahraga menganggap bahwa masalah seperti yang dihadapi Semenya telah berakhir.
Semenya yang mendapat medali emas pada kompetisi lari 800 meter di World Championships 2009 pun menjadi subyek pemeriksaan. Sayangnya, hasil pemeriksaan tersebut bocor kepada awak media--hal tersebut yang membuat media tahu bahwa ia memiliki testis internal.
"Daerah paling intim dan pribadiku telah diperiksa dengan sangat detail dan tanpa alasan," protes Semenya.
Menanggapi perlakuan itu, politikus Afrika Selatan mengaku terkejut dengan apa yang telah dilakukan otoritas olahraga terhadap Semenya, atlet dari sebuah desa miskin di utara negara tersebut.
Menghindari terjadinya hal serupa, IAAF memutuskan apakah seseorang berhak untuk bersaing dalam kompetisi dengan mengecek kadar testosteron dalam tubuhnya.
Untuk beberapa waktu, sistem tersebut berjalan lancar. Bahkan Semenya menerima dan mulai mengonsumsi obat untuk menurunkan kadar testosteronnya.
Kontroversi
Penangguhan Peraturan IAAF
Dengan mengonsumsi obat penurun kadar testosteron, kemampuan Semenya menjadi menurun. Hal tersebut juga dialami oleh pelari cepat asal India, Dutee Chand, yang juga pengidap hiperandrogenisme.
Menganggap peraturan IAAF tak adil, Chand dan pemerintah India mengajukan banding ke Pengadilan Arbitrasi Olahraga.
Pada Juli tahun lalu, Mahkamah menangguhkan peraturan IAAF dengan alasan tidak ada cukup bukti untuk menghubungkan hiperandrogenisme dengan peningkatan kinerja fisik.
Setelah tak dituntut untuk mengurangi kadar testosteronnya, Semenya kembali memimpin klasemen.
Beberapa pendapat mengatakan, bukan hak dunia olahraga untuk memaksa atlet menjalani sejumlah program kesehatan untuk mengubah diri mereka. Mereka menambahkan, mengapa atlet pria yang mengidap kadar testosteron berlebih tak dipaksa untuk menjalani pengobatan.
Berlanjutnya Perdebatan
Terlepas apakah Semenya mengidentifikasi dirinya sebagai seorang wanita atau tidak, dia dianggap menikmati keuntungan fisik atas pesaingnya.
"Ini bukan kesalahan mereka karena terlahir dengan lebih banyak hormon laki-laki daripada wanita. Namun bukan berarti mereka dapat diklasifikasikan sebagai perempuan dan diizinkan mengambil bagian dalam kompetisi untuk kategori wanita," ujar mantan juara dunia asal Irlandia, Sonia O’Sullivan.
Dilema serupa pun dialami oleh atlet transgender. Pada Olimpiade Rio, Komite Olimpiade Internasional memutuskan bahwa transgender pria--secara biologis terlahir sebagai wanita--diperbolehkan untuk bersaing dalam kategori laki-laki.
Sementara itu untuk transgender perempuan--secara biologis terlahir sebagai laki-laki-- dapat bersaing sebagai wanita asalkan kadar testosteronnya sebanding dengan cisgender wanita, yakni seseorang yang memiliki persepsi gender sesuai dengan jenis kelaminnya.
Menanggapi perdebatan tentang isu gender pada kompetisi olahraga, mungkin kita harus mengingat prinsip keempat Piagam Olimpiade, yakni "Setiap individu harus memiliki kemungkinan berlatih olahraga, tanpa diskriminasi apapun dan dalam semangat Olimpiade, yang membutuhkan rasa saling pengertian dengan semangat persahabatan, solidaritas dan bermain secara adil."
Berdasarkan piagam tersebut, pertanyaan lain pun muncul: Apakah Caster Semenya bermain seadil mungkin? Bagaimana menurut Anda?
Advertisement