Liputan6.com, Bandung - Aplikasi unggulan (killer app) dari virtual reality (VR) di Indonesia kemungkinan besar ada di segmen hiburan dan pemasaran.
Adityo Pratomo, CTO Labtek Indie--salah satu studio peminat VR di kota Bandung--mengatakan, di belahan dunia mana pun, belum ada killer app yang benar-benar menghasilkan untung.
"(Virtual reality, red.) untuk jadi industri masih meraba-raba. Sekalipun paling banyak digunakan sekarang untuk gim dan entertaiment. Tapi monetisasinya belum jalan bagus. Semuanya masih menawarkan free," kata pria yang akrab disapa Didit tersebut kepada Tekno Liputan6.com setelah Code Meetup di Bandung, Senin (15/8/2016).
VR saat ini masih sebatas berperan sebagai alat untuk merasakan sensasi baru dalam menggunakan sebuah aplikasi, bukan "tambang" pendapatan tersendiri, meski piranti keras (hardware) penunjangnya kian terjangkau, ada di kisaran sejuta rupiah bahkan ratusan ribu rupiah per unit.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Didit, pasar VR kemungkinan besar akan lebih matang dalam waktu dua hingga tiga tahun ke depan, seiring dengan pengguna yang makin melek dan kebutuhan pasar yang meningkat. Dalam jangka tersebut, studio pengembang aplikasi VR pun akan terus mengalami peningkatan dalam hal kuantitas.
"Saya perkirakan yang nanti ramai dan monetisasinya jelas mungkin di pemasaran. Misal orang ditawarkan obyek wisata atau perumahan. Biar berasa sensasinya, orang bisa cek melalui VR di sebuah booth marketing," tutur Didit.
Hal ini dinilai sejalan dengan budaya masyarakat Indonesia yang lebih senang penjelasan melalui perantara multimedia--apalagi ada pengalaman baru dari VR--dibandingkan dengan narasi teks yang mengharuskan mereka membaca, sehingga kurang disukai.
"Kalau mengajak datang ke objek wisata lewat tulisan, itu biasa. Masyarakat Indonesia kebanyakan tak suka membaca. Tapi kalau pakai kacamata VR, sensasinya beda, seolah-olah ada di lokasi wisata tersebut," pungkas Didit.
(Msu/Why)