Liputan6.com, Cirebon - Pada 16 Agustus 1945 lalu, saat itu merupakan puncak persiapan kemerdekaan. Kala itu, Olly Siti Soekini memberanikan diri mengibarkan bendera merah putih.
Bendera itu dikibarkan di Gedung Jawa Hokokai, Jalan Pekalipan 106, Kota Cirebon, Jawa Barat. Olly Siti Soekini atau yang dikenal dengan nama Olly Sastra merupakan satu dari sederet pejuang Indonesia asal Cirebon yang pertama kali membuat serta mengibarkan bendera merah putih di daerah Pantura, Jawa Barat.
Perjuangannya saat itu tak berjalan mulus. Seperti dituturkan putri bungsu Olly, Indra Ratna Esti Handayani.
"Ibu saya yang menjahit merah putih sendiri setelah mendengar kabar dari teman seperjuangannya di Jakarta, Pak Manadi, langsung bahwa Indonesia sudah merdeka," tutur perempuan yang karib disapa Esti kepada Liputan6.com di Cirebon, Jawa Barat, Selasa, 16 Agustus 2016.
"Saat itu pula tepatnya jam 16.00 WIB, ibu bersama teman-teman menurunkan bendera Jepang dan menggantinya dengan bendera merah putih," sambung dia.
Dia melanjutkan, setelah bendera merah putih berkibar, Jepang kemudian menghampiri Olly Sastra bersama rekannya dan menurunkan paksa merah putih yang sudah berkibar.
"Disuruh diturunkan paksa dan ibu saya tidak mau. Akhirnya, ibu saya dipukuli oleh Jepang, namanya Tuan Tanaka. Bendera pun sempat direbut dan dibakar. Sontak ibu saya merebut kembali bendera Merah Putih yang sudah dibakar lalu dipadamkan dan sempat pula dipukuli. Untuk dilerai sama teman-temannya," tutur Esti.
"Merah putih sempat berkibar tapi langsung diturunkan oleh Tuan Tanaka marah-marah dan berkata 'Siapa bilang Indonesia sudah merdeka? Tanaka kemudian memukul, menjambak rambut ibu saya. Saat itu, Tuan Tanaka juga bilang kalau Dai Nippon yang memberikan kemerdekaan. Padahal kata ibu saya, kemerdekaan harus ada pengorbanan jiwa raga dan harta," sambung dia.
17 Agustus 1945...
Olly Sastra dan kawan-kawannya, kata dia, terpaksa mengalah. Namun, mereka tidak menyerah hingga Sukarno memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Hari itu, bendera merah putih berkibar kembali.
Setelah merdeka, lanjut sang anak, Olly Sastra langsung mengganti nama Gedung Hokokai menjadi Panti Pendidikan Anak-anak (PPA). Panti tersebut selain menjadi tempat tinggal, juga menjadi tempat untuk menampung anak-anak dan ibu-ibu korban perang.
"Sedikit demi sedikit sekolah PPA berkembang dan menjadi yayasan. Punya sekolah SD, SMP, hingga SMA," ujar dia.
Baca Juga
Advertisement
Olly Sastra diam-diam mengajari ibu-ibu dan anak-anak yang buta huruf. Melalui gerakan Pendidikan Masyarakat, sosok Olly Sastra dan teman-teman seperjuangannya pun cukup dikenal, bahkan menjadi buronan penjajah.
"Semangat mencerdaskan bangsanya sudah tertanam sejak zaman penjajah. Ibu saya sudah aktif di kepanduan sejak remaja. Beliau sekolah di Mulo atau setara dengan SMP pada zaman Belanda dan tidak semua orang mendapat kesempatan sekolah di situ," papar dia.
"Ibu saya beruntung karena kebetulan ayahnya ibu saya menjabat sebagai wakil kepala Bank Rakyat. Pengalaman pendidikannya itu yang diajarkan cuma-cuma kepada rakyat di Cirebon untuk memberantas buta huruf."
Esti mengatakan, Olly Sastra merupakan wanita pejuang perempuan di Cirebon kelahiran 12 Januari 1925. Semangat berjuang Olly Sastra membuat teman-teman seperjuangannya memberikan predikat dirinya sebagai Srikandi Pertama di Karesidenan Cirebon.
Dia menuturkan, kiprah sang ibu berjuang di bidang pendidikan membawanya aktif di berbagai organisasi zaman Belanda.
"Di ormas juga aktif, salah satunya Barisan Pelopor Kepemudaan seluruh Karesidenan Cirebon pimpinan Pak Ronggo waktu itu," katanya sembari membuka catatan lama yang ditulis sang ibu.