Liputan6.com, London - Peneliti di King's College London mengklaim dapat memprediksi prestasi belajar dengan menggunakan DNA. Mereka menganalisa sampel DNA dari 3.497 orang menggunakan jenis analisis baru yang disebut “genome-wide polygenic score” atau GPS.
Para peneliti menemukan, orang-orang dengan skor GPS tinggi menunjukkan performa yang lebih baik di sekolah. Bahkan, pada usia 16 tahun, terdapat perbedaan nilai antara mereka dengan skor GPS tertinggi dan terendah.
Advertisement
Atas temuan tersebut, para peneliti memberitakan temuan mereka sebagai "tipping point" atau titik puncak dalam kemampuan menggunakan DNA untuk memprediksi prestasi pendidikan.
Penemuan ini diyakini akan memicu perdebatan, antara nature (bawaan/genetik) versus nurture (pengasuhan/pendidikan). Seperti dikutip dari World Economic Forum, Kamis (18/8/2016), hal tersebut memaksa kita berpikir tentang apa sebenarnya yang membentuk diri kita.
Apakah karir, hobi, preferensi makanan, tingkat pemasukan, pengaturan emosi, atau bahkan keberhasilan kita secara umum berakar dalam gen (nature) atau terbentuk karena lingkungan (nurture)? Jika itu semua dipengaruhi gen, lalu apa artinya konsep bahwa kita dapat menentukan nasib kita sendiri?
Beberapa tahun terakhir terdapat pertumbuhan penelitian yang menunjukkan bahwa kecerdasan adalah sifat yang sangat diwariskan dan poligenik--suatu sifat dikendalikan oleh lebih dari satu gen.
Walaupun hubungan antara penelitian genetik pada prestasi pendidikan dan kecerdasan tak terlihat langsung, namun hasil studi seperti yang dikeluarkan King's College membentuk koneksi biologis antara DNA dan prestasi pendidikan.
Masa Lalu Penelitian yang Kelam
Bukan rahasia bahwa sejarah penelitian kecerdasan dengan perpanjangan penelitian genetika pada kemampuan kognitif atau prestasi belajar, berakar pada eugenetika--perbaikan ras manusia dengan memperbanyak individu sehat dan membuang mereka yang cacat atau sakit--dan rasisme. Penelitian itu juga digunakan untuk memvalidasi adanya perbedaan ras dan kelas.
Jadi bagaimana masa lalu yang memalukan tersebut berdampak pada penelitian bidang genetika perilaku hari ini?
Banyak ahli genetika perilaku, seperti Robert Plomin yang merupakan peneliti senior di King's College, meyakini bidang tersebut telah beranjak dari sejarah kelam -- era Nazi, misalnya -- dan menyebut bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang obyektif dan netral.
Menurutnya, kontroversi yang meliputi penelitian tersebut, setidaknya di mata Plomin dan sejumlah orang lainnya, diakibatkan karena sensasi yang disebarkan media.
Namun banyak ahli bioetika dan ilmuwan sosial tak setuju dengannya. Mereka berpendapat bahwa masyarakat terlalu mengagungkan kecerdasan sehingga sulit untuk membuat penelitian di bidang ini tetap netral.
Kontroversi
Berlanjutnya Perdebatan Penelitian
Sebelumnya, sebagian besar bidang tersebut digunakan untuk meminggirkan kelompok tertentu, terutama kelompok yang memiliki pendapatan rendah atau etnis minoritas.
Beberapa orang menyebut genetika kecerdasan yang merugikan banyak kelompok berpenghasilan rendah dan etnis minoritas, merupakan nature atau bawaan dan tak dapat diubah.
Bagi ahli bioetika saat ini, pertanyaan tersebut di cabang genetik perilaku: siapa yang mengatakan bahwa penelitian baru di bidang ini tak akan mengabaikan kesenjangan sosial yang sama bahwa penelitian serupa telah dilakukan sebelumnya?
Penelitian genetika yang dahulu digunakan untuk menindas orang secara terbuka harus mengakui masa lalu tersebut. Tak hanya itu, secara gamblang mereka juga harus menyatakan apa yang dapat dan tak dapat dibuktikan oleh penelitian itu.
Ketika studi tersebut menyebut kedudukan seseorang di masyarakat dengan prestasi pendidikan, hal itu mengaitkan status itu kepada genetika, menyoroti tumpang tindih genetik antara prestasi pendidikan dan status sosial ekonomi keluarga.
Kemungkinan jenis penelitian semacam ini dapat mempengaruhi sikap terhadap beberapa minoritas etnis dan digunakan untuk membenarkan kesenjangan sosial. Menanggapi keprihatinan tersebut, sudah seharusnya diakui dan ditangani oleh ahli genetika perilaku.
Advertisement