Liputan6.com, Padang - Ahmad Basya, pegawai Pos Telepon dan Telegraf (PTT) yang diperbantukan di Kantor Berita Domei milik tentara Jepang, terlihat sibuk pada 17 Agustus 1945 malam. Ia menjadi orang pertama yang menerima berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Bersama rekan sejawatnya, Asri Aidid Sutan Rajo Nan Sati, dia mengetik ulang hingga 10 rangkap dan menempelkan teks proklamasi yang dibacakan Sukarno-Hatta di Jakarta ke berbagai tempat di Bukittinggi. Hal serupa terjadi di Kota Padang, Sumbar.
Alidin, pegawai PTT yang dipekerjakan di Kantor Radio Keresidenan sudah mengetahui perihal berita proklamasi pada malam itu. Karena kondisi yang kurang memungkinkan, berita ini hanya disebarkan Alidin secara lisan pada sejumlah petinggi di daerah.
"Secara umum, sejak tanggal 15 Agustus (1945) warga Sumatera terisolasi dari dunia luar. Warga tidak bisa lagi mendengar berita karena Radio Sumatera dan radio-radio di keresidenan tiba-tiba menghentikan siarannya," tulis sejarawan Gusti Asnan dalam buku Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dikutip Liputan6.com, Kamis 18 Agustus 2016.
Baca Juga
Advertisement
Hanya saja, tulis Gusti, penguasa Jepang di tingkat Gunseikanbu (pemerintahan militer) masih mengizinkan beberapa pegawai beraktivitas di Domei. Dari sanalah, berita proklamasi berkembang dan menimbulkan sejumlah polemik karena keragu-raguan kalangan tua dengan kebenaran berita tersebut.
Menurut Gusti, pergerakan tokoh muda yang tergabung dalam Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) dan Komite Nasional Indonesia (KNI) yang mendorong tokoh tua untuk menerima berita tersebut.
"Kegamangan tokoh-tokoh tua di daerah hampir sama dengan keragu-raguan Bung Karno-Hatta saat diminta untuk memproklamasikan kemerdekaan," ujar Gusti Asnan, Kamis 18 Agustus 2016.
Atas dorongan kalangan muda, Residen Sumatera saat itu yang dijabat Moehammad Sjafei kemudian memproklamasikan dukungan atas proklamasi yang dibacakan di Jakarta dengan membacakan teks "Permakloeman Kemerdekaan Indonesia". Proklamasi Sumatera ini dibacakan 12 hari setelah Sukarno-Hatta membaca teks proklamasi kemerdekaan RI.
Teks Proklamasi Dibacakan di Bukittinggi
Berikut teks proklamasi versi Sumatera yang dibacakan di Bukittinggi:
PERMAKLOEMAN KEMERDEKAAN INDONESIA
Mengikoeti dan mengoeatkan pernjataan kemerdekaan Indonesia oleh Bangsa Indonesia seperti PROKLAMASI pemimpin2 besar kita SOEKARNO-HATTA atas nama Bangsa Indonesia seperti berikoet:
PROKLAMASI
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menjatakan KEMERDEKAAN INDONESIA
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain2 diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat2nya.
Djakarta 17 boelan 6 tahoen 1945
Atas nama Bangsa Indonesia
Sukarno-Hatta
Maka kami Bangsa Indonesia di Soematra dengan ini mengakoei Kemerdekaan Indonesia seperti dimaksoed dalam Proklamasi di atas dan mendjoenjoeng keagoengan kedoea pemimpin Indonesia itoe.
Boekittinggi hari 29 bl 8 th 1945
Atas nama Bangsa Indonesia di Soematera
Moehammad Sjafei
"Ini bentuk pernyataan atas nama Sumatera dan dukungan penuh pada Sukarno-Hatta," kata Gusti. Kenapa dukungan dan pengakuan ini lambat diproklamasikan? "Ternyata setelah diteliti - berdasarkan penelitian pribadi- ada kegamangan yang sama tokoh-tokoh di daerah dengan Sukarno-Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan."
Meski terlambat, menurut Gusti, pembacaan teks Proklamasi di Sumatera oleh Moehammad Sjafei terbilang yang pertama di Sumatera. Kenapa Sumatera memproklamasikan ulang dan mengakui kemerdekaan Indonesia seperti yang tertuang pada teks Proklamasi, ia mengatakan, hal ini tidak terlepas dari pendudukan tentara ke-25 di Sumatera dan tentara ke-16 di Jawa.
"Secara psikologis kedua daerah ini (Jawa dan Sumatera) diduduki Angkatan Darat Jepang, sehingga ikatan psikologisnya terjalin cukup kuat," tutur Gusti. Bukittingi dipilih sebagai lokasi pembacaan "Proklamasi Sumatera" karena menjadi pusat pemerintahan Sumatera pada masa pendudukan Jepang.
Sebelumnya, saat pendudukan Belanda, pusat Sumatera yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan Hindia Belanda (Einheidsstaat van Nederlandsch Indie) berada di Medan, Sumatera Utara.
Advertisement
Kontroversi Proklamasi di Sumatera
Munculnya proklamasi dukungan terhadap Sukarno-Hatta dari Sumatera menimbulkan kontroversi terkait kedudukan pendiri Indonesisch Nederlansche School (INS) Kayu Tanam Moehammad Sjafei, kala itu. "Mengatasnamakan Sumatera ini menunjukkan bahwa Moehammad Sjafei masih menegaskan bahwa dirinya sebagai pemimpin tertinggi di Sumatera," ujar Gusti.
"Ini terkesan bahwa dia tidak mengakui penunjukan TM Hasan sebagai orang nomor satu di Sumatera," Gusti menambahkan.
Sebelum proklamasi dibacakan Moehammad Sjafei, TM Hasan sudah berkunjung ke Bukittinggi untuk menyampaikan hasil rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang telah menunjuk presiden dan wakil presiden dan dirinya dipercaya sebagai Gubernur Sumatera dengan Wakil Moh Amir Moehammad Sjafei saat proklamasi kemerdekaan dibacakan menjabat sebagai Residen Sumatera yang ditunjuk Jepang.
Penunjukan TM Hasan ini yang kemudian memunculkan konflik di kalangan tua di Sumatera. "Karena TM Hasan saat itu belum memberikan kontribusi yang besar terhadap perjuangan kemerdekaan," Gusti memaparkan.
Menurut dia, ketidaksenangan ini muncul pada saat TM Hasan dan Moh Amir ditunjuk sebagai utusan Sumatera ke sidang PPKI.
Perlawanan ini tidak berkembang di Sumatera Barat semata, namun meluas ke sejumlah daerah di Sumatera. Kondisi ini mencair, menurut Gusti, setelah presiden saat itu mengirimkan surat pengangkatan resmi TM Hasan dan Moh Amir sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur di Sumatera pada 29 September 1945.