Liputan6.com, Washington, DC - Pada awal Agustus lalu, muncul laporan yang menyebutkan Amerika Serikat (AS) "menerbangkan" uang senilai US$ 400 juta atau kurang lebih setara Rp 5,2 triliun ke Iran. Dan pada hari yang sama, Negeri Para Mullah membebaskan lima tahanan asal AS.
Spekulasi merebak, pengiriman uang itu disebut sebagai tebusan demi pembebasan sejumlah warga AS yang ditahan Iran. Namun hal ini dibantah langsung oleh Presiden AS, Barack Obama.
Advertisement
Seperti dilansir CNN, Jumat 5 Agustus lalu, orang nomor satu di Gedung Putih itu menegaskan, ia memegang teguh prinsip negaranya untuk tidak membayar tebusan. Bahkan menurutnya pihak keluarga sandera sudah memahami hal ini.
"Kami tidak akan membayar tebusan. Kami tidak akan melakukan itu dan tidak akan pernah melakukannya," tegas Obama kala itu.
"Keluarga mereka mengetahui bahwa kami memiliki kebijakan untuk tidak membayar tebusan," imbuhnya.
Lebih lanjut, Obama menjelaskan bahwa uang senilai triliunan rupiah itu merupakan bagian dari US$ 1,7 miliar yang harus dibayarkan AS berdasarkan keputusan pengadilan arbitrase internasional di Den Haag terkait pembelian senjata yang gagal di era Shah Reza Pahlevi.
Jadi pada 1970-an, Iran yang ketika itu dipimpin Shah Pahlevi dilaporkan membeli senjata ke AS. Namun peristiwa Revolusi Iran yang menggulingkan Shah Pahlevi pada 1979 menggagalkan proses jual - beli ini dan dana itu pun dibekukan.
Sejak 1981, Iran telah berjuang melalui pengadilan internasional untuk mendapatkan kembali uang tersebut. Obama menegaskan, akan lebih baik bagi AS untuk membayarkan US$ 400 juta ditambah bunga senilai US$ 1,3 miliar dibanding memenuhi total tuntutan yang diajukan, yakni US$ 10 miliar.
Pengiriman uang itu juga disebut sebagai bagian dari kesepakatan nuklir dengan Iran. Menurut salah seorang sumber kepada CNN, uang tersebut harus diterbangkan secara tunai karena Iran tidak memiliki akses terhadap sistem perbankan internasional, ini sebagai bagian dari embargo ekonomi yang dijatuhkan AS.
Dari sumber yang sama pula disebutkan, uang itu diambil dari bank-bank sentral di Swiss dan Belanda. Kemudian diangkut dengan pesawat kargo yang tidak memiliki kode penerbangan.
Senada dengan Obama, Juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest, juga membantah bahwa dana itu berupa tebusan. Menurutnya itu adalah bagian dari kesepakatan nuklir dengan Iran, sementara di sisi lain kesepakatan nuklir terkait dengan pembebasan tahanan AS.
Disanggah lalu diakui
Setelah adegan sangkal-menyangkal, akhirnya Kementerian Luar Negeri AS mengakui bahwa uang US$ 400 juta itu digunakan sebagai "pengaruh" dalam pembebasan lima tahanan AS. Demikian seperti dilansir BBC, Jumat (19/8/2016)
Meski demikian Juru bicara Kemenlu AS, John Kirby, bersikukuh bahwa pembayaran tebusan dilakukan terpisah dengan pembebasan sandera. Namun menurutnya dana tersebut dikucurkan setelah lima sandera AS meninggalkan Iran.
Pernyataan Kirby ini mencuat setelah Wall Street Journal menyebutkan dalam laporannya bahwa pengiriman uang yang sangat bergantung dari keberangkatan pesawat yang mengangkut para sandera AS.
Negeri Paman Sam dikabarkan tidak bersedia mengucurkan dana sebelum pesawat Angkatan Udara Swiss yang membawa lima warga AS itu lepas landas dari Teheran. Kirby menyatakan, saat itu terdapat kekhawatiran bahwa Iran akan ingkar janji.
"Adalah sebuah kebodohan, tidak bijaksana, dan tidak bertanggung jawab apabila kami tidak mencoba dan mempertahankan alat "pengaruh". Jadi apabila Anda bertanya apakah ada kaitan pada hasil akhir? Saya tidak akan membantahnya,” jelas Kirby seperti dikutip ABC News.
Peristiwa ini sontak mendatangkan kritik dari Republik. Elite politik partai itu menuding, Presiden Obama menukar tahanan dengan uang.
Senator Negara Bagian Illinois, Mark Kirk, yang juga mengepalai komite keamanan perbankan nasional, mendesak diadakannya sidang dengar pendapat terkait skandal US$ 400 juta ini. Sementara itu, Ketua Partai Republik, Reince Priebus, menuntut kejujuran pemerintahan Obama.
"Sudah saatnya, bagi Gedung Putih berhenti bersandiwara dan mengakui telah membayar tebusan senilai US$ 400 juta kepada negara pendukung teroris terbesar di dunia," tegas Priebus.