Liputan6.com, Jakarta - Lokasinya sekitar 6 kilometer ke arah selatan dari Kota Makassar, terletak di Jalan Daeng Tata, Kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa. Di sinilah terdapat sisa-sisa Benteng Somba Opu. Kini, tinggi dinding yang tersisa hanya sekitar 2 meter. Benteng ini berbentuk segi empat. Luasnya 1500 hektar.
Dulu, tinggi benteng diperkirakan mencapai 7-8 meter. Di dalamnya, terdapat pemukiman penduduk dan istana raja. Kota dalam benteng, begitu kira-kira gambaran ibukota Kerajaan Gowa ini. Didirikan atas inisiatif Raja Gowa ke-9, Karaeng Tumapa‘risi’ Kallonna (1460 – 1510). Dia lah yang mulai meniti kejayaan Kerajaan Gowa, memperluas wilayah kekuasaan.
Benteng itu kemudian diperkuat oleh penerusnya, Raja Gowa ke-10, Karaeng Tunipalangga (1510 – 1546), yang melanjutkan kejayaan Kerajaan Gowa. Ia memerintahkan untuk menempatkan semuanya di dalam benteng. Menata meriam-meriam dan mempertebal tembok benteng.
Dia juga yang membangun benteng-benteng pertahanan lain. Salah satunya, Benteng Ujung Pandang, yang sampai saat ini masih berdiri tegak di tengah-tengah Kota Makassar. Setelah dikuasai VOC Belanda, benteng tersebut berganti nama menjadi Fort Rotterdam. Nama yang sampai saat ini dikenal.
Lokasi Kerajaan Gowa sendiri strategis. Terletak di pantai, dekat dengan Selat Makassar. Tak heran, di masa lalu menjadi salah satu pusat perdagangan teramai di Indonesia bagian timur. Dengan posisi yang strategis itulah kemudian VOC Belanda berkeinginan memonopoli perdagangan di Kerajaan Gowa.
Apa yang terjadi kemudian meletuslah peperangan antara Kerajaan Gowa dan tentara VOC Belanda yang memunculkan sosok Sultan Hasanudin. Perlawanan pasukan Gowa di bawah pimpinannya berakhir, ketika benteng Somba Opu dikuasai VOC.
Somba Opu Jatuh, Gowa Takluk
Walau sangat merugikan Kerajaan Gowa, tetapi Perjanjian Bungaya sebenarnya bukan peristiwa yang menandakan jatuhnya kekuasaan Kerajaan Gowa ke tangan VOC Belanda. Kejatuhan Kerajaan Gowa sebenarnya terjadi ketika Somba Opu berhasil dikuasai VOC.
Baca Juga
Advertisement
Setelah penandatanganan Perjanjian Bungaya, Kerajaan Gowa mulai kehilangan kendali di wilayah kekuasaannya yang cukup luas. Terbatas dalam mengambil kebijakan terkait dengan perdagangan. Walau begitu, kerajaan ini masih sebagai kerajaan berdaulat.
Di lain pihak, walau banyak keuntungan yang didapat VOC, tetapi belum lega jika belum menguasai ibukota Kerajaan Gowa: Somba Opu. Oleh karena itu, mereka melakukan blokade ketat terhadap armada laut Gowa. Tidak ada yang boleh keluar-masuk dari perairan Somba Opu.
Karena Somba Opu memiliki benteng terkuat yang dimiliki Kerajaan Gowa, VOC belum berani frontal menyerang. Mereka menunggu bala bantuan dari Batavia datang. Sambil menunggu itu, walau sudah ditandatangani Perjanjian Bongaya, mereka berulang kali mencoba melakukan perundingan lagi. Tapi, gagal.
Baru pada pertengahan April 1669, pasukan VOC melancarkan serangan besar-besaran ke Somba Opu. Sultan Hasanudin memimpin sendiri pasukannya menahan serangan VOC.
Penyerangan pasukan VOC ke Benteng Somba Opu ini diceritakan panjang lebar oleh sejarawan Belanda, F.W. Stapel dalam bukunya, Cornelis Janszoon Speelman. Judul buku yang mengambil nama panglima VOC saat melakukan penyerangan ke Kerajaan Gowa.
Pasukan Gowa bukannya diam saja. Sesekali mereka menyerang posisi pasukan VOC, tetapi gagal. Pada awal Juni 1669, pasukan VOC berhasil mendekati dinding Benteng Somba Opu. Dua minggu kemudian, 15 Juni, pasukan VOC melakukan serangan. Terjadilah pertempuran sengit selama 24 jam dalam dua hari.
Setelah itu, pada 19 Juni, pasukan VOC berhasil menguasai dan membobol tembok bagian depan benteng. Tapi, perlawanan dari pasukan Gowa tidak surut. Akhirnya, pada 24 Juni, benteng berhasil dikuasai.
VOC butuh sekitar sembilan hari untuk dapat menguasai benteng terkuat sekaligus ibukota Kerajaan Gowa. Benteng itu kemudian dihancurkan, karena VOC khawatir kekuatan Kerajaan Gowa bangkit lagi.
Dengan jatuhnya Benteng Somba Opu, secara de facto Kerajaan Gowa benar-benar takluk di tangan VOC. Sultan Hasanudin dengan pasukan tersisa kemudian mendirikan Benteng Gowa atau dikenal juga sebagai Benteng Anak Gowa.
Pasukan VOC sendiri tidak pernah menyerang benteng tersebut. Namun, menyodorkan perjanjian perdamaian kembali. Hingga akhirnya, Sultan Hasanudin menyetujuinya walau ia tidak pernah tunduk kepada VOC. Sekitar hampir setahun setelah jatuhnya Benteng Somba Opu, Sultan Hasanudin wafat.
Persekutuan Gowa-Tallo
Kerajaan Gowa kerap disebut juga Kerajaan Gowa-Tallo. Tapi, bukan berarti satu kerajaan. Gowa-Tallo dua kerajaan yang bersekutu, Keduanya bersatu dalam tali persaudaraan walau Kerajaan Gowa memiliki raja sendiri, begitu pun Kerajaan Tallo.
Awalnya, pada masa Karaeng Tumapa’risi Kallona, Kerajaan Gowa berperang melawan Kerajaan Tallo. Kerajaan Gowa memenangkan peperangan. Setelah itu, kedua raja mengadakan perjanjian bersekutu.
Perjanjian tersebut diperkuat dengan sumpah yang diucapkan oleh raja masing-masing, termasuk kepala-kepala wilayah di kedua kerajaan itu. Sumpahnya kira-kira berbunyi,”siapa saja yang mengadu domba Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo,maka dia akan dikutuk dewa”.
Dengan perjanjian dan sumpah tersebut, hubungan kekeluargaan terjalin erat. Apalagi, sebelumnya, antara kedua belah pihak punya tali kekeluargaan. Batara Gowa, Raja Gowa ke-7 bersaudara dengan Raja Tallo pertama, Karaeng Lo Eri Sero.
Sejak itulah, hubungan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo tidak terpisahkan. Dalam struktur pemerintahan Kerajaan Gowa, raja Tallo mendampingi raja Gowa. Raja-raja Tallo selalu merangkap sebagai Pabbicara Butta atau mangkubumi Kerajaan Gowa. Kedudukan ini kedudukan tertinggi setelah raja. Kedudukannya, bisa dikatakan orang kedua setelah raja.
Jadi, sebutan Kerajaan-Tallo lebih kepada tali persaudaraan. Bukan satu kerajaan. Hal ini juga bisa dilihat dari makam raja-raja Gowa terpisah dari makam raja-raja Tallo.
Kompleks pemakaman raja-raja Gowa letaknya di di jalan Palantika, Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. Sedangkan kompleks pemakaman raja-raja Tallo terletak di Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Makassar. (Andy A. Krisnandy, sejarawan, kontributor Liputan6.com)
Advertisement