Di Balik Pemeriksaan Kejiwaan Jessica Wongso

Guna menguak kesehatan jiwa Jessica Kumala Wongso, polisi mengerahkan psikiater forensik dari RSCM terkait kasus pembunuhan Mirna.

oleh Nafiysul QodarAudrey Santoso diperbarui 19 Agu 2016, 18:56 WIB
Terdakwa pembunuhan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso saat menjalani sidang lanjutan di PN Jakarta Pusat, Senin (15/8). Sidang tersebut dengan agenda pendengaran Saksi ahli psikologi klinis Antonia Ratih Handayani. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Guna menguak kesehatan jiwa Jessica Kumala Wongso, polisi mengerahkan psikiater forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pada persidangan ke-13 kasus kematian Wayan Mirna Salihin itu, ahli psikiatri itu, Natalia Widiasih Raharjanti, dihadirkan.

Namun, selama pemeriksaan 6 hari pada 11-16 Februari 2016, tim psikiater tidak menggunakan lie detector untuk mengobservasi Jessica. Natalia mengatakan, RSCM memang tidak menggunakan instrumen lie detector sebagai bagian dari pemeriksaan kejiwaan.

Alasannya, hasil lie detector dinilai kurang komprehensif dan tidak kredibel. Terlebih, lie detector hanya mendeteksi perubahan suhu dan respons tubuh tanpa mengetahui sebab dari perubahan tersebut.

"Kita di RSCM enggak pakai lie detector karena lie detector adalah satu instrumen yang dipakai untuk alat bantu, dia hanya memprediksi perubahan suhu dan respons tubuh. Jadi kalau orang tersebut mengalami perubahan, tetap harus diverifikasi apakah perubahan ini karena dia takut atau bohong. Enggak bisa kita nilai dari positif negatif saja," tegas Natalia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 18 Agustus 2016.

Oleh karena itu, Natalia bersama tim memilih untuk melakukan pemeriksaan silang terhadap hasil observasi terhadap Jessica Wongso dengan data kolateral yang diperoleh dari kepolisian New South Wales dan Australia Federal Police (AFP).

"Kita tetap harus memeriksa lebih dalam lagi maka dari itu kita butuh dara kolateral untuk verifikasi apakah data yang dia (Jessica) katakan (saat pemeriksaan) sesuai dengan data (kolateral) atau tidak. Berdasarkan dari itu kita baru bisa tahu ada inkonsistensi atau tidak," kata Natalia.

Ketika dipertegas kembali oleh jaksa penuntut umum (JPU), Natalia dengan tegas mengatakan Jessica tidak pernah dites dengan alat lie detector. "Tidak, kita tidak lakukan tes (kepada Jessica) dengan lie detector," jawab Natalia kepada jaksa.

Menurut dia, pemeriksaan dengan lie detector juga sangat rawan dengan false positive dan false negative. Terutama, jika orang yang diperiksa memiliki kepribadian seperti Jessica, tenang dan rileks selama diperiksa.

"Pertimbangan kami di RSCM, penggunaan lie detector itu bisa jadi ada yang namanya false positive dan false negative. Pada orang yang sangat tenang sekali dan bisa buat emosinya tertata rapi, bisa jadi dia akan lolos tes ini," Natalia membeberkan.

Jessica selama proses pemeriksaan juga dinilai sangat tenang dan jarang down. "Selama pemeriksaan Jessica sangat tenang dan mampu menjaga emosinya dengan baik. Kecuali di beberapa hal yang dia tidak siap misalnya waktu psikotes dia bilang tidak suka matematika dan ada soal aritmatik, itu kelihatan emosinya langsung dia minta kopi," tutur Natalia.

Mendengar jawaban itu, jaksa mempertanyakan apakah Jessica tergolong dalam kategori yang sangat tenang, sehingga bisa 'menipu' lie detector. Natalia menjawab, "Bisa iya bisa tidak, karena kembali lagi kita (tim psikiater RSCM) tidak melakukan lie detector kepada Jessica." (Winda Prisilia)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya