Penulis Buku Ini Sebut DN Aidit Perpaduan Sukarno dan Tan Malaka

Buku mengenai DN Aidit ini dibuat berdasarkan tugas akhir yang diselesaikan seorang guru sejarah SMA Muhammadiyah 11 Jakarta.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 21 Agu 2016, 20:01 WIB
Diskusi buku berjudul "Aidit, Leninisme-Marxisme dan Revolusi Indonesia" di salah satu kafe di Sleman, Yogyakarta. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Sleman - Dipa Nusantara Aidit atau yang dikenal DN Aidit merupakan salah satu tokoh di Indonesia yang hidup dan pemikirannya jarang diceritakan dalam forum resmi maupun institusi pendidikan. Hal ini melatarbelakangi Satriono Prio Utomo, seorang guru sejarah SMA Muhammadiyah 11 Jakarta, membukukan skripsinya di Universitas Negeri Jakarta.

Buku berjudul "Aidit, Leninisme-Marxisme, dan Revolusi Indonesia" dibuat berdasarkan tugas akhir yang diselesaikan Satriono pada 2015. Buku setebal 150 halaman dan diterbitkan oleh Indie Book Corner itu berisi soal sejarah alternatif yang belum banyak terungkap.

"Selama ini buku sejarah lebih banyak membicarakan Sukarno, founding father, tetapi jarang yang menulis soal tokoh lainnya," ucap Satriono dalam diskusi buku bertajuk "Aidit, Leninisme-Marxisme dan Revolusi Indonesia" di salah satu kafe di Sleman, Yogyakarta, Sabtu 20 Agustus 2016.

Ia menjelaskan, DN Aidit merupakan salah satu tokoh yang mewarnai perpolitikan Indonesia pada kisaran 1950-1960-an. Pemikiran Ketua Central Committee (CC) Partai Komunis Indonesia ini dituangkan lewat buku-bukunya yang sekarang sudah banyak dimusnahkan.

Menurut Satriono, gagasan Aidit merupakan perpaduan Sukarno dan Tan Malaka dengan persentase 50-50. Ia mengungkapkan secara kontekstual Aidit mengkritik kapitalisme di Indonesia. Demikian pula dengan komunisme yang menurut Aidit tidak perlu ditakutkan.

"Menurut Aidit alasannya sama karena cara berpikir bangsa masih setengah kolonial dan setengah feodal," tutur Satriono.

Diskusi buku berjudul

Kolonial ditunjukkan melalui sejarah panjang penjajahan bangsa asing di Indonesia. Sementara feodal diperlihatkan dengan masih banyaknya kerajaan yang menjadi simbol-simbol daerah di Indonesia. Hal tersebut, imbuh dia, perlu diketahui sebelum berbicara liberalisme.

Meskipun demikian, Satriono menekankan menulis biografi dan pemikiran seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia yang eksis pascakemerdekaan, bukan berarti ia seorang penganut paham tersebut.

"Saya tidak punya kaitan dengan keluarga maupun sejarah Aidit, tetapi saya menulis untuk menjembatani pertanyaan-pertanyaan yang kerap muncul di kelas karena ada garis sejarah yang putus," ujar penulis buku tokoh komunisme tersebut.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya