Harga Rokok Naik Jadi Rp 50 Ribu, Picu PHK dan Produk Ilegal

Dengan kenaikan harga rokok sebesar Rp 50 ribu akan menurunkan daya beli masyarakat terhadap produk rokok.

oleh Septian Deny diperbarui 22 Agu 2016, 10:22 WIB
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

Liputan6.com, Jakarta - Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak wacana kenaikan harga rokok hingga Rp 50 ribu per bungkus. Alasannya, kenaikan ini akan berdampak pada industri rokok dan para pekerjanya.

Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan, dengan kenaikan harga rokok sebesar Rp 50 ribu akan menurunkan daya beli masyarakat terhadap produk rokok. Akibatnya, industri pun akan menurunkan produksinya lantaran permintaan yang rendah.

"Mahalnya harga rokok akan menurunkan daya beli orang membeli rokok akibatnya industri rokok akan menurunkan jumlah produksi rokok," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (22/8/2016).

Jika industri rokok mulai menurunkan produksinya, maka akan diikuti dengan efisiensi, termasuk juga dari sisi tenaga kerjanya. Jika hal ini terjadi, maka dikhawatirkan akan ada pemutusan tenaga kerja (PHK) besar-besaran di industri rokok.

"Berujung ancaman PHK besar-besaran pekerja di industri rokok. Apalagi 80 persen pekerja industri rokok adalah outsourcing yang sudah puluhan tahun bekerja dan rentan PHK," tandas dia.

Hal senada diungkapkan, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo yang menilai wacana kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus tidak memiliki basis argumentasi atau kajian yang jelas.
 
Kenaikan harga rokok tidak masuk akal karena hingga kini pemerintah belum menetapkan besaran peningkatan cukai pada tahun depan. Kenaikannya pun diprediksi tidak akan melonjak drastis. Tahun ini, tarif cukai rokok hanya naik sebesar 11,19 persen.
 
"Ide atau wacana kenaikan rokok hingga Rp 50.000 per bungkus itu tidak berangkat dari kajian yang benar. Pasalnya pengkaji ide wacana itu juga tidak memikirkan subsitusi dari industri hasil tembakau," ujar dia.
 
Ia mewanti-wanti, jika harga rokok melonjak sedemikian tinggi, akan ada dua akibat. Pertama, industri sudah pasti akan kolaps tutup karena pemintaan yang anjlok, dan berujung penurunan pemasukan cukai bagi pemerintah.
 
Kedua, kenaikan harga setinggi itu juga akan memicu kenaikan peredaran rokok ilegal. “Sudah tak dapat cukai, pengendalian tidak juga berjalan,” imbuh dia.
 
Yustinus menambahkan, jika kebijakan harga Rp 50 ribu jadi berlaku, dampaknya terasa dari hulu ke hilir. Mulai dari petani hingga pengecer.

“Ini bukan soal industri memberi dampak buruk atau tidak, substitusi pengganti IHT tidak ada, apakah juga dipikirkan enam juta pekerja di IHT bisa dipindahkan ke sektor lain," tegas dia.
 
Menurut dia, jika dasar kenaikan harga rokok menggunakan mekanisme perbandingan harga dengan negara lain, seperti Singapura, dinilai sangat tidak adil.  Itu karena perbedaan dari sisi pendapatan per kapita masyarakat Indonesia dan Singapura yang jelas sangat jauh berbeda. 

Pemerintah, menurut Yustinus, selama ini tidak maksimal menjalankan roadmap berkaitan dengan industri hasil tembakau. Tiga poin roadmap berkaitan pengendalian konsumsi rokok, penerimaan negara, dan perlindungan tenaga kerja.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kemenkeu tengah mengkaji usulan kenaikan harga rokok hingga dua kali lipat atau menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Unit Eselon I ini harus mempertimbangkan dari sisi aspek ekonomi apabila ingin menaikkan tarif cukai rokok sehingga perusahaan terpaksa menjual rokok seharga tersebut.

"Harga rokok jadi Rp 50 ribu per bungkus adalah salah satu referensi yang dikomunikasikan," ujar Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi di Jakarta.

Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan usulan tersebut bukan saja dari sisi kesehatan, tapi juga dari aspek ekonomi, seperti industri, petani dan keberlangsungan penyerapan tenaga kerja.(Dny/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya