Liputan6.com, Jakarta Kabar tak sedap bagi industri hasil tembakau (IHT) kembali berhembus dari Lapangan Banteng, kantor Kementerian Keuangan. Awal Mei ini, Kemenkeu melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sudah memberi sinyal bakal kembali menaikkan cukai rokok untuk tahun depan.
Bagi industri, kabar kenaikan cukai adalah nyanyian sumbang yang berulang saban tahun. Mereka paham, apapun kondisinya, cukai rokok tak bakal mengkerut.
Advertisement
Bagi Kemenkeu, cukai rokok naik itu wajib hukumnya. Toh, hakikat cukai itu adalah untuk pembatasan atas barang konsumsi yang dianggap berbahaya.
Dalih lainnya, cukai rokok naik itu tak soal karena bisnis rokok adalah bisnis yang elastis. Yang luwes menghadapi situasi ekonomi apapun. Lagi pula, kocek negara bakal bolong besar bila cukai tak naik.
Memang belum jelas, berapa besar kenaikan cukai tahun depan. Yang jelas, tahun ini cukai rokok ditargetkan mencapai Rp 146,44 triliun. Naik sekitar Rp 7 triliun dibanding target cukai tahun lalu yang sebesar Rp 139,7 triliun.
“Cukai naik karena target penerimaan cukai juga sudah diputus naik,” ujar Kepala BKF Goro Ekanto, ringan. Namun demikian, Goro masih ogah menyebut besaran kenaikkan cukai tahun depan.
Sejatinya, langkah Kemenkeu yang terus mengerek cukai rokok, memberi sinyal bahwa pemerintah memang tak kreatif. Rokok tiap tahun jadi andalan pungutan. Padahal, lagi-lagi kalau kreatif, banyak ruang pungutan cukai.
Anggota Komisi XI DPR Misbakhun menilai, kalau ukurannya bahaya, minuman beralkohol sudah terbukti menjadi sumber malapetaka. Opsi yang masih terbuka adalah minuman berkarbonasi alias minuman bersoda. Termasuk juga, minuman berpemanis dan juga junkfood.
Kata Misbakhun, kenaikkan cukai adalah lonceng kematian bagi industri rokok kelas menengah ke bawah. “Ada aspek ekonomi yang lebih penting dari sekadar menaikkan cukai,” katanya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, meminta pemerintah dalam menyusun pendapatan dari cukai tak hanya bertumpu pada rokok.
“Bayangkan saja, 95 persen pendapatan cukai itu dari industri hasil tembakau. Di luarnya cuma lima persen. Tak masuk akal sebenarnya. Masa satu negara besar, cukainya tergantung dari perokok? Bagaimana sumber lain? Ini yang harus dibuka,” kata Enny.
Dampak kenaikan cukai rokok jelas sangat kongkrit. Ambil contoh di Kudus. Di kota kretek ini, pada 2014 masih terdapat 1.300 perusahaan rokok. Namun, di tahun lalu, tinggal 300 pabrik saja. Artinya, kenaikkan cukai pada 2014 sukses merontokkan 1.000 pabrik rokok.
“Harga cukai rokok tiap tahunnya terus meningkat. Hal itu tidak masalah untuk pengusaha besar, namun untuk pengusaha kecil seperti kami, itu sangat pelik,” kata Rizki Budi, pengelola Perusahaan Rokok (PR) Sinta, dilansir Kompas.com.
Menurutnya, harga pita cukai terus dinaikkan dengan harapan produk rokok beredar terbatas. Namun, hal itu justru menjepit pengusaha rokok kecil. Produknya yang kebanyakan dijual di Jawa Barat itu pun tidak diproduksi setiap hari seperti halnya produk rokok yang sudah mempunyai nama merek dagang terkenal. Ia yakin, kebijakan seperti cukai yang terus naik seperti ini ingin memberangus perusahaan rokok.
Kebijakan ijon
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Jawa Timur Sulami Bahar, menegaskan, dampak paling buruk, ketika kenaikan cukai membebani industri. Sudah pasti dampak terburuknya akan terjadi pemutusan hubungan kerja.
“Dampak paling parah dengan kenaikan cukai ini tentu saja industri rokok akan gulung tikar, terjadi PHK ribuan buruh,” tegas Sulami.
Belum lagi, akibat kenaikan cukai cukai tinggi makin menyuburkan rokok ilegal yang ujung-ujungnya merugikan pemerintah sendiri. “Cukai yang naik tinggi ini, sudah pasti akan membuat rokok ilegal makin naik peredarannya,” tandas Sulami.
Ia mencontohkan, ketika tarif cukai naik 8,4 persen pada 2014, ada sekitar 19 ribu buruh kehilangan pekerjaan. Karena itu, kenaikkan cukai rokok saban tahun adalah kebijakan terselubung pemerintah menghabisi pabrik rokok.
Selain cukai tinggi, Sulami juga menilai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20/PMK.04/2015 makin memberatkan industi. PMK 20 ini mengatur pembayaran pita cukai yang jatuh temponya pada Januari dan Februari (2016), harus dilunasi pada Desember 2015. Dengan kebijakan ngijon ini, pabrik rokok membayar cukai selama 14 bulan.
Akibat kebijakan ini, sejumlah pabrik rokok pun kolaps. Bahkan, sebuah pabrik rokok papan atas, harus rela turun kasta karena tak mampu menyiapkan pembayaran cukai rokok di muka sebesar ratusan triliun.
Mantan Direktur Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Kemenperin Faiz Achmad pernah mengungkapkan, industri rokok selalu menyumbang penerimaan negara di atas Rp 100 triliun dalam setahun. Tahun kemarin, bahkan mencapai Rp150 triliun.
“Kalau pabrik rokok ditutup, ada nggak yang sanggup menggantikan 10% penerimaan pajak nasional, silakan saja. Tidak ada single industry yang mampu saingi tembakau,” kata dia.
Kontribusi IHT, bahkan jauh melebihi penerimaan dari PT Freeport Indonesia. “Freeport ini selalu bangga. Padahal dari 1995 sampai 2014 mereka hanya berikan royalti dan pajak Rp 200 triliun. Itu hanya 2 tahun kurang penerimaan rokok, Freeport perlu 20 tahun,” tandasnya.
(adv)