Tanggapan Produsen soal Harga Rokok Naik Jadi Rp 50 Ribu

Dengan tingkat atau tarif cukai saat ini, perdagangan rokok ilegal telah mencapai 11,7 persen dan merugikan negara hingga Rp 9 triliun.

oleh Septian Deny diperbarui 22 Agu 2016, 12:00 WIB
Aktivitas di pabrik sigaret kretek tangan (SKT) PT HM Sampoerna Tbk di Surabaya, Kamis (19/5). HMSP mendapat rekor MURI dengan kecelakaan kerja nihil selama 20 tahun (1996-2006). (AFP Photo/Juni Kriswanto)

Liputan6.com, Jakarta - Produsen rokok PT HM Sampoerna Tbk (Sampoerna) membantah telah menaikkan harga rokok hingga dua kali lipat seperti isu yang beredar luas di masyarakat.

Emiten berkode HMSP ini pun menilai kenaikan tarif cukai rokok secara signifikan akan menggerus daya beli masyarakat dan memperlemah industri rokok nasional.

"Kenaikan harga secara drastis atas produk-produk Sampoerna adalah informasi tidak benar yang disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab," ujar Head of Regulatory Affairs, International Trade and Communications Sampoerna, Elvira Lianita, dalam keterangan resminya, Jakarta, Senin (22/8/2016).

Lebih jauh dia mengatakan, kenaikan harga rokok drastis maupun tarif cukai secara eksesif bukan merupakan langkah bijaksana. Alasannya, setiap kebijakan yang diambil terkait hal tersebut harus mempertimbangkan seluruh aspek secara komprehensif.

Aspek tersebut terdiri dari seluruh mata rantai industri tembakau nasional, yakni petani, pekerja, pabrikan, pedagang dan konsumen. Sekaligus harus mempertimbangkan kondisi industri dan daya beli masyarakat saat ini.

"Kebijakan cukai yang terlalu tinggi akan mendorong naiknya harga rokok menjadi mahal sehingga tidak sesuai dengan daya beli masyarakat," ujar Elvira.

Jika harga rokok mahal, diakuinya, akan diikuti dengan maraknya peredaran rokok ilegal yang dijual dengan harga sangat murah lantaran tidak dipungut tarif cukai.

Mengutip studi dari beberapa Universitas di Indonesia, kata Elvira, dengan tingkat atau tarif cukai saat ini, perdagangan rokok ilegal telah mencapai 11,7 persen dan merugikan negara hingga Rp 9 triliun.

"Hal ini tentu kontraproduktif dengan upaya pengendalian konsumsi rokok, peningkatan penerimaan negara, dan perlindungan tenaga kerja," jelas dia.

Terkait dengan harga rokok di Indonesia yang lebih murah dibandingkan dengan negara lain, menurut Elvira, perlu dilakukan kajian yang menghitung daya beli masyarakat di masing-masing negara.

"Jika kita membandingkan harga rokok dengan PDB dan pendapatan per kapita di beberapa negara, maka harga rokok di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura," ucap Elvira.(Fik/Nrm)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya