Mahfud MD: Cuti Kampanye Calon Petahana Itu Kewajiban Bukan Hak

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan calon petahana harus cuti kampanye, karena merupakan kewajiban konstitusi.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 22 Agu 2016, 15:24 WIB
Mahfud MD saat menghadiri sarasehan bertema "Menggali Konsep dan Kebijakan Kemaritiman Presiden Abdurrahman Wahid", Jakarta, Rabu (7/1/2015). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjalani sidang perdana uji materi atau judicial review Pasal 70 ayat 3 UU No 10 tahun 2016 ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait cuti kampanye. Dalam pasal itu disebutkan calon petahana harus cuti selama menjalani kampanye.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, ketentuan cuti dalam undang-undang itu merupakan kewajiban yang harus dijalani petahana. Kategori cuti yang dimaksud dalam undang-undang bersifat wajib diikuti oleh semua pasangan calon kepala daerah.

"Saya ingin katakan cuti itu bukan hak, tapi cuti kewajiban," ujar Mahfud di Kantor MMD Initiative, Jakarta, Senin (22/8/2016).

Menurut Mahfud, kategori cuti itu terbagi menjadi tiga. Ada cuti yang sifatnya hak, kewajiban, bahkan larangan.

Kepala daerah bisa dikatakan dilarang cuti ketika ada situasi darurat, seperti adanya bencana. Kepala Daerah tidak boleh cuti sebelum bencana berakhir.

Mahfud mencontohkan, dirinya ingin ke Amerika bersama sang istri, tapi istri merupakan seorang PNS. Bila ingin mendapat izin untuk ikut harus cuti tanpa tanggungan negara. Hal itu dapat dikatakan cuti menjadi sebuah kewajiban.

Cuti kemudian dikategorikan menjadi hak saat seorang karyawan memiliki jatah 12 hari cuti. Karyawan boleh menagih cuti kepada manajemen apabila tidak kunjung diberi cuti.

"Gubernur itu kalau di dalam undang-undang kita itu bukan hak tapi kewajiban. Oleh sebab itu tidak boleh memilih. Beda antara hak dan kewajiban, cuti itu kewajiban dan itu sudah berlaku di mana-mana," jelas Mahfud.

Gugatan semacam itu sudah pernah diputuskan oleh MK. Mahfud mengatakan, saat itu Gubernur Lampung Sjachroedin ZP menggugat aturan yang mengharuskan calon petahana mundur dari jabatan 6 bulan sebelum pemilu.

"Lalu keputusannya Sjachroedin tidak wajib berhenti tapi cuti. Tapi waktu itu dia sudah terlanjur berhenti karena jadwalnya sudah harus berhenti," kata dia.

"Tapi kalau gubernur wali kota bupati wajib mengambil cuti bukan hak," sambung Mahfud.

Saat itu, terang Mahfud, pertimbangan MK memberikan keputusan cuti, karena masa jabatan gubernur itu 5 tahun. Bila dipaksa mengundurkan diri artinya ada hak konstitusionalnya direnggut.

"Pertimbangannya untuk kepastian hukum. Seorang gubernur kan masa jabatannya 5 tahun, masa baru 4,5 tahun sudah harus mundur berarti dirampas tuh hak konstitusionalnya. Oleh karena itu kita ini karena dia hak, hanya wajib cuti enggak wajib berhenti. Itu pertimbangannya. Itu hak konstitusional masa jabatan, tapi cuti itu kewajiban hukum," Mahfud memungkas.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya