Liputan6.com, Manila - Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay, menegaskan negaranya tidak akan keluar dari keanggotaan PBB. Pernyataannya itu muncul sehari setelah Presiden Rodrigo Duterte mengancam akan hengkang dari organisasi internasional itu setelah terusik atas kritik terhadap kebijakannya dalam perang melawan narkoba.
Seperti dilansir Reuters, Senin (22/8/2016) Menlu Yasay menjelaskan bahwa pernyataan Presiden Duterte itu "adalah sebuah pernyataan yang mengungkapkan kekecewaan yang mendalam dan frustasi".
Advertisement
"Kami berkomitmen kepada PBB meskipun kami banyak frustasi dengan lembaga internasional ini," ujar Menlu Yasay.
Sebelumnya, Presiden Duterte menyatakan jika Filipina hengkang dari PBB, maka ia akan mengundang Tiongkok dan sejumlah negara Afrika untuk mendirikan organisasi tandingan. Tak hanya itu, ia bahkan menyerang balik organisasi internasional yang berdiri pada 24 Oktober 1945 dengan menyebutnya "tak berguna".
Mantan Wali Kota Davos itu juga menyoroti ketidakberdayaan PBB untuk menangani konflik Suriah. Ia bahkan merujuk pada foto Omran Daqneesh, bocah Suriah yang ramai diperbincangkan dunia--setelah foto dirinya yang sedang duduk termangu di kursi ambulans dengan sekujur tubuh berselimut debu dan bagian wajah berlumuran darah beredar di dunia maya.
Pernyataan pedas Duterte juga menyasar Amerika Serikat (AS). Ia mengecam penembakan yang dilakukan polisi terhadap orang kulit hitam.
Dalam konferensi persnya pada Minggu (21/8/2016) kemarin, Duterte yang dikenal sebagai salah satu wali kota terlama di Filipina itu menegaskan ia ingin bertatap muka dengan ahli HAM PBB dan menantang mereka membuktikan tuduhan bahwa perang narkoba yang dilakukannya melanggar hukum.
Presiden ke-16 Filipina itu juga menekankan para ahli yang mengkritik kampanye anti-narkorba yang dilancarkannnya telah melanggar protokol diplomatik. Menurut dia, prosedur yang tepat seharusnya mereka menerapkan metode pendekatan terhadap pemerintahannya, bukan menjadikannya lelucon di depan umum.
Sejak menjabat sebagai Presiden Filipina pada Juli lalu, Duterte segera mendeklarasikan perang terhadap narkoba. Ia meminta rakyatnya untuk menembak mati bandar narkoba.
Menurut Xinhua yang mengutip pernyataan Direktur Jenderal Kepolisian Filipina, Ronald de la Rosa, kurang lebih 1.800 orang yang terkait dengan bisnis barang haram itu dilaporkan tewas sejak 1 Juli lalu.
Direktur Jenderal Kepolisian Filipina, Ronald de la Rosa menjelaskan, 712 orang yang tewas merupakan bagian dari operasi polisi. Sementara 1.067 lainnya tewas akibat perbuatan "main hakim" warga.
De la Rosa menegaskan bahwa pihaknya menentang pembunuhan di luar koridor hukum tanpa kompromi. "Jika polisi ditemukan melanggar hukum ia akan diselidiki, dituntut, dan dihukum," ujarnya.
"Dalam spekulasi pembunuhan terkait main hakim sendiri, Kepolisian Filipina tidak akan pernah memaafkan tindakan itu. Telah saya jelaskan sebelumnya bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh berbagai sindikat yang terlibat dalam bisnis haram narkoba."
Pejabat kepolisian itu berjanji untuk menerapkan kekuatan penuh demi menghukum mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan di luar operasi polisi tersebut.
Meningkatnya jumlah pembunuhan dalam perang terhadap narkoba inilah yang menarik perhatian PBB dan sejumlah kelompok pembela HAM hingga akhirnya membuat Presiden Duterte terusik.
"Saya bersedia menjawab semua kritik. Saya bertanggung jawab penuh atas apa yang terjadi karena saya adalah orang yang memerintahkannya," jelas Duterte di Kota Davao pada akhir pekan kemarin.
"Instruksi saya di hari pertama saya menjabat adalah: pergi dan buru para penjahat. Tangkap mereka jika mereka menyerah secara damai, namun jika mereka melawan maka bunuh karena saya tidak ingin orang-orang di pemerintahan meninggal sia-sia dalam melaksanakan tugasnya," kata sang presiden.
Menurut sosok kontroversial itu, kecanduan narkoba telah menjadi pandemi di mana terdapat 3,7 juta orang di Filipina terjerat barang haram itu. Ia menambahkan sejauh ini, sekitar 600.000 pengguna narkoba telah menyerahkan diri sejak pemerintahannya meluncurkan kampanye perang terhadap obat-obatan terlarang.