Liputan6.com, Jakarta - Apa yang paling sulit di dapat di dunia ini? Jawabannya adalah kebahagiaan. Karena, kebahagiaan itu punya persepsi masing-masing dalam menggapainya. Karena itu muncul pertanyaan, di manakah mencari kebahagiaan itu? Jawaban sederhananya adalah kebahagiaan itu harus kita cari dan ciptakan sendiri.
Di dunia olahraga yang titik tolaknya adalah prestasi, kebahagiaan itu adalah sukses di setiap ajang yang diikuti, setelah periode yang lama membanting tulang dan bekerja keras. Tetap tentunya dengan persepsi masing-masing. Contoh dari Olimpiade Rio de Janeiro yang baru berakhir adalah bagaimana Tiongkok bisa menganggap diri mereka gagal, karena hanya ada di urutan ketiga pengumpulan medali, di bawah Amerika Serikat dan Inggris Raya.
Australia juga setali tiga uang. Meraup 8 emas, 11 perak dan 10 perunggu, berada di urutan ke-10, bagi sebagian masyarakat down under dianggap sebagai kegagalan. Mereka tidak bahagia karena tidak sesuai target berada di 5 besar. Jelas kebahagiaan itu relatif sifatnya.
Michael Phelps jelas sosok yang bahagia di Olimpiade keempatnya, di mana dia mempersembahkan 5 medali medas dan 1 medali perak dari 6 nomor cabang renang yang diikutinya. Dia menjadi peserta Olimpiade paling sukses dengan raupan 23 emas, 2 perak, dan 3 perunggu dari Athena 2004 hingga Rio 2016.
Kekalahannya dari perenang Singapura, Joseph Schooling, dianggap mengejutkan. Tapi bagi dirinya, menjadi pemegang medali perak bersama dua perenang lainnya di nomor 100 meter kupu kupu tetap sebuah kebahagiaan.
Baca Juga
Advertisement
Sebagian besar masyarakat yang mengidolakan Usain Bolt mungkin kecewa akan catatan waktu pelari cepat Jamaika ini, yang tidak mampu memecahkan rekor dunia 100 meter dan 200 meter atas namanya. Tapi, jelas seringai Bolt di setiap garis finis saat merebut emas 100 meter dan 200 meter, serta estafet 4x100 meter di stadion Olimpiade Rio adalah gambaran kebahagiaannya. Bolt masih tercatat sebagai manusia tercepat di muka bumi.
Kebahagiaan Indonesia
"Bahagia mana lagi yang kau dustakan". Sering kita membaca kalimat seperti itu. Sukses di arena tak pelak adalah kebahagiaan. Bagi sebagian negara yang seret perolehan medali mereka di Olimpiade, sukses seorang atlet adalah kebahagiaan masyarakat negara itu.
Indonesia yang merasakan kebahagiaan pertama kali 28 tahun lalu ketika Trio Srikandi kita merebut medali perak panahan beregu putri di Seoul, 1988. Medali pertama dalam keikutsertaan kita di Olimpiade. Empat tahun kemudian, rasa bahagia itu lebih besar dengan langsung raupan dua medali emas pertama kita lewat Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma.
Bulutangkis kemudian regular membuat senyum di wajah masyarakat kita setiap Olimpiade lewat sumbangan emasnya. Di Olimpiade Atalanta 96, pasangan ganda putra Rexy Mainaky dan Ricky Subagja juga sukses menyumbang emas
Lalu, berlanjut di Sydney 2000 lewat ganda putra Tony Gunawan dan Candra WIjaya, kemudian di Athena 2004 lewat Taufik Hidayat di tunggal putra hingga Beijing 2008, kembali lewat ganda putra Markis Kido dan Hendra Setiawan. Hingga Olimpiade 2008, total enam emas disumbangkan cabang bulu tangkis Indonesia di Olimpiade.
Saya ingat betapa tidak bahagianya kita ketika empat tahun lalu, bulutangkis yang selalu jadi tulang punggung keberhasilan kontingen Indonesia di Olimpiade gagal total tanpa satu medali pun. Apalagi ditambah kontroversi pasangan ganda putri Meiliana Jauhari dan Greysia Poli yang di diskualifikasi bersama delapan atlet lainnya
Mereka dianggap sengaja mengalah dan tidak memberikan upaya terbaik mereka untuk mendapatkan lawan yang lebih mudah di undian. Ketidakbahagiaan yang membuat torehan satu medali perak dari lifter Triatno dan satu perunggu dari lifter Eko Yuli Irawan seperti hanya pelipur lara yang luput dari perhatian.
Fast forward empat tahun ke Rio 2016 yang baru berakhir, "Surga Ketujuh" Indonesia itu akhirnya terwujud. Untuk pertama kalinya, ganda campuran menyumbangkan medali emas dalam sejarah Olimpiade Indonesia, lewat pasangan Tantowi Ahmad dan Liliyana Natsir.
Bagi Butet – panggilan Liliyana Natisr – ini adalah perbaikan prestasi setelah sebelumnya di Beijing 2008 hanya merebut medali perak bersama Nova Widianto. Era emas Indonesia di Olimpiade berlanjut. Lalu apa ke depannya?
Masa Depan
Kita tidak bisa berhenti di cerita romantis bahwa medali emas ketujuh Olimpiade kita direbut di perayaan ke-71 kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus, sehingga seolah-olah angka 7 itu membuat kita terpatri di tempat. Usai surga ketujuh diraih di tempat yang identik dengan patung yang empunya surga, bagaimana prestasi untuk kebahagiaan Indonesia ke depannya, terutama empat tahun mendatang di Tokyo 2020?
Tolak ukurnya adalah prestasi kita saat menjadi tuan rumah Asian Games 2018 mendatang. Dan kebahagiaan dengan sukses prestasi itu tidak boleh hanya mengandalkan bulutangkis saja. Cabang olahraga lain, terutama cabang olahraga Olimpiade harus menjadi pusat perhatian. Salah satunya adalah angkat besi yang tidak berhenti mempersembahkan medali sejak Sydney 16 tahun lalu.
Harus ada penerus Lisa Rumbewas, Sri Indriyani, Winarni Binti Slamet, Triyatno, Eko Yuli Irawan, dan Sriwahyuni Agustiani empat tahun mendatang, dengan target melebihi raupan medali perak dan perunggu yang sudah disumbangkan angkat besi secara terus menerus dalam 5 Olimpiade terakhir.
Eko Yuli Irawan, di Tokyo nanti sudah akan berusia 31 tahun, yang tentunya akan sulit mengharapkan lifter ini berprestasi lebih dari 2 medali perunggu dan satu perak dari tiga Olimpiade terakhir.
Lifter putri Sriwahyuni Agustiani yang baru berusia 22 tahun tentunya lebih bisa diharapkan untuk membuat angkat besi kita memasuki era emas Olimpiade. Seperti juga harapan dari cabang-cabang lain, seperti halnya panahan yang di Rio 2016 lalu sempat memberikan pengharapan lewat Riau Ega Agatha di nomor perorangan, dengan mengalahkan juara dunia dan peringkat pertama dunia dari Korea Selatan, Kim Woo Jin.
Sayang, Aga tersingkir di babak 16 besar dari pemanah Italia. Talenta seperti Sriwahyuni dan Ega Agatha inilah yang harus terus dipoles lewat berbagai macam event regional maupun continental, untuk bisa memberikan kebahagiaan berupa surga kedelapan, kesembilan, dan seterusnya bagi Indonesia di Olimpiade nanti.
Ingat, tanpa harus beranggapan kegagalan di sebuah ajang berarti adalah kartu mati yang menjadikan pemikiran bahwa percuma mengirimkan atlet ke event berikutnya. Kebahagiaan itu adalah sukses yang harus dijalani secara berkesinambungan dan bukan instan. Jadi, siapa yang bilang mencari "surga" itu mudah.