Liputan6.com, Jakarta - Isu kenaikan harga rokok kini menjadi kontroversi. Isu yang tengah bergulir ini sudah memberi dampak bagi para pihak yang bergelut di bidang usaha rokok dan tembakau.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dirinya belum mengetahui dengan pasti kapan harga rokok akan naik. Beberapa kajian pun masih terus dijalankan.
Advertisement
"Belum tahu, jadwalnya belum kita periksa," kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin (22/8/2016).
Sampai saat ini, pemerintah juga masih mengalami perdebatan soal penerapan dan ratifikasi aturan Framework Convention on Tobaco Control (FCTC). Pembahasan ini memang sudah masuk dalam rapat terbatas dipimpin Presiden. Hanya saja belum ada keputusan.
"Tapi memang pemerintah sudah bicara beberapa kali untuk mengadaptasi aksesi FCTC," imbuh JK.
Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) tengah mengkaji wacana kenaikan harga rokok. Unit Eselon I ini harus mempertimbangkan dari sisi aspek ekonomi apabila ingin menaikkan tarif cukai rokok sehingga perusahaan terpaksa menjual rokok seharga tersebut.
"Harga rokok jadi Rp 50 ribu per bungkus adalah salah satu referensi yang dikomunikasikan," ujar Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi di Jakarta, Raabu (17/8/2016).
Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan usulan tersebut bukan saja dari sisi kesehatan, tapi juga dari aspek ekonomi, seperti industri, petani dan keberlangsungan penyerapan tenaga kerja.
"Jadi kita harus komunikasikan dengan seluruh stakeholder, baik yang pro kesehatan maupun yang pro industri, petani karena pasti ada tarik ulur di situ. Kalau cuma dengarkan salah satunya, bisa bangkrut itu," jelas Heru.
Kenaikan tarif cukai rokok yang terlalu signifikan akan berdampak negatif bagi industri. Bahkan efek buruk lainnya, sambung dia, marak peredaran atau penyelundupan rokok ilegal.