Liputan6.com, Purwokerto - Rokok lintingan merek Padud masih tersisa setengah. Dimatikannya bara api di ujung rokok dengan jempol keriputnya. “Sisanya untuk nanti,” ujar Sariyun, 60 tahun, Selasa (23/8/2016).
Siang itu Sariyun bersama Mirja, 30 tahun sedang duduk santai di Pos Kamling Desa Cikidang, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah.
Pos tersebut menjadi tempat khusus bagi perokok di desa itu. Kontras dengan rumah penduduk yang bertuliskan terima kasih untuk tidak merokok, pos tersebut bertuliskan tempat khusus perokok.
Ya, sejak 2008, aparat desa bersama warga setempat berniat membebaskan diri dari pengaruh rokok. “Kami sedang menggodok peraturan desa antirokok,” kata Kepala Desa Cikidang, Dikrun Hadi Siswoyo, saat ditemui di ruang kantornya.
Baca Juga
Advertisement
Lelaki berusia 53 tahun itu bertekad membebaskan desanya dari perokok. Ikhtiar itu ia mulai tahun 2008.
Awalnya ia hanya ingin menyukseskan program perilaku hidup bersih dan sehat. Ada 16 indikator program tersebut. Salah satunya adalah keluarga bebas asap rokok.
Untuk menyukseskan niatan itu, Dikrun bersama aparat desa mulai mensosialisasikan program itu. “Waktu sosialisasi saya masih perokok berat,” ujar Dikrun.
Sebagai perokok berat, Dikrun biasa menghabiskan empat bungkus rokok kretek. Ayahnya perokok, dan semua saudara laki-lakinya juga perokok.
Ia sering disindir warganya saat mensosialisasikan antirokok tapi sambil merokok. Sejak sindiran itu, ia akhirnya memutuskan untuk berhenti merokok. “Kalau pemimpinnya merokok, bagaimana warganya mau berhenti merokok,” ia menuturkan.
Kerja keras itu membuahkan hasil. Tahun 2008, dari total 3.132 jiwa penduduk desa itu, ada 600 orang yang merokok. Sejak ada sosialisasi, perokok tinggal 202 orang.
Ada yang berhenti total, ada juga yang berhenti secara bertahap. “Dulu setengah bungkus, sekarang tiga batang sehari,” sebut Mirja yang bekerja sebagai buruh tani.
Ia yang hanya berpenghasilan Rp 15 ribu per hari mengaku ada keuntungan mengurangi rokok. Setidaknya dari uang belanja rokok bisa dialihkan untuk kebutuhan lain.
Peraturan Desa Anti-Rokok
Pendapat Mirja itu juga yang mendasari aparat desa berencana menerapkan perdes antirokok. Dikrun menyebutkan raperdes antirokok dimaksudkan untuk menambah kesejahteraan penduduk.
Sebab, desa tersebut masuk kategori desa miskin. Dari 769 rumah, ada 413 rumah yang menerima bantuan langsung tunai. Setidaknya, kata Dikrun, uang untuk membeli rokok bisa untuk membeli telur atau beras.
Selain itu, rokok yang mengandung jutaan senyawa berbahaya disadari menjadi penyebab penyakit yang cukup berbahaya. Jika orang miskin sakit, ia tak mampu bekerja. “Sehat dulu baru cari uang,” kata Dikrun.
Raperdes itu kini sedang dalam penggodokan antara aparat desa dengan Badan Perwakilan Desa. Jika disetujui, desa tersebut akan mempunyai peraturan yang melarang warganya merokok di dalam rumah.
Jika ketahuan, mereka diwajibkan membayar satu butir telur yang akan disumbangkan ke posyandu. Setidaknya, tidak ada orang yang merokok di dalam rumah. Untuk perokok yang sulit berhenti merokok, mereka disediakan tempat khusus merokok, yakni di pos kamling terdekat.
Gerakan antirokok bukannya tanpa pro-kontra. Kelompok perokok berat menjadi penentang. “Sementara ibu-ibu banyak yang mendukung saya,” ujar Dikrun.
Namun tidak semua perokok berat menolak gerakan itu. Rustam Hadinata, 35 tahun, saat ini berhenti total merokok. “Dulunya saya sehari bisa habis sembilan bungkus rokok,” kata dia.
Bukan hanya satu jenis rokok, selera rokok Rustam bisa dibilang banyak. Ia tak fanatik pada satu jenis rokok saja. Seperti asbak.
Advertisement