Danau Toba Sejatinya 'Raksasa Tidur' yang Berpotensi Bangun?

Danau Toba sejatinya adalah kaldera gunung purba. Ia pernah erupsi besar, letusan terdahsyat di muka Bumi dalam kurun waktu 2 juta tahun.

oleh Citra Dewi diperbarui 23 Agu 2016, 19:11 WIB
Danau Toba di Pulau Samosir, Sumatera Utara.

Liputan6.com, Jakarta - Festival Pesona Danau Toba baru-baru ini dilangsungkan di Parapat, Kabupaten Simalungun dan di Balige, Kabupaten Tobasa.

Acara yang dihadiri Presiden Joko Widodo diselenggarakan untuk mengawali pencanangan Danau Toba sebagai destinasi utama wisata di Indonesia.

Tak hanya keindahan dan keragaman budaya orang-orang yang tinggal di tepi perairannya, danau itu juga menyimpan riwayat yang kolosal. Ia sejatinya adalah kaldera sebuah gunung purba: Toba.

Sejarah geologi mencatat, letusan gunung paling dahsyat di muka Bumi dalam kurun waktu 2 juta tahun terjadi di Indonesia. Kala itu pada 74.000 tahun Gunung Toba mengamuk. Dampaknya jauh lebih hebat dari erupsi Tambora atau Krakatau.

Kala meletus, Gunung Toba memuntahkan 2.500 kilometer kubik lava. Setara dua kali volume Gunung Everest. Erupsinya 5.000 kali lebih mengerikan dari letusan Gunung St Helens pada 1980 di Amerika Serikat.

Seperti dimuat situs Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), dalam waktu sekitar dua minggu, ribuan kilometer kubik puing dimuntahkan dari puncaknya. Aliran piroklastik--awan yang merupakan campuran gas panas, serpihan batu, dan abu--mengubur wilayah sekitar 20.000 kilometer persegi di sekitar kaldera.

Di Pulau Samosir, tebal lapisan abu bahkan mencapai 600 meter. Abu Toba juga menyebar ke seluruh dunia. Di India misalnya, ketebalan abu sampai 6 meter.

Pasca-letusan, Gunung Toba kolaps, meninggalkan kaldera modern yang dipenuhi air--menjadi Danau Toba. Sementara, Pulau Samosir terangkat oleh magma di bawah tanah yang tidak meletus. Gunung Pusuk Buhit di dekat danau itu juga terbentuk pasca-letusan.

Awalnya ilmuwan menduga, letusan Toba menyebabkan penurunan suhu global hingga 10 derajat Celcius selama hampir satu dekade dan membinasakan makhluk hidup, termasuk nenek moyang manusia.

Letusan Toba memang terjadi pada saat yang menentukan dalam sejarah manusia, sekitar masa ketika nenek moyang kita, Homo sapiens melakukan eksodus massal, dari Afrika ke Asia. Para peneliti yakin betul, orang yang kala itu tinggal sejauh 2.000 kilometer di timur India dipengaruhi letusan tersebut, yang berkecamuk selama berminggu-minggu.

Sejumlah ilmuwan punya pendapat lain. Menurut mereka, letusan Toba tak berdampak pada kehidupan cikal bakal manusia modern.

Penelitian terus dilakukan untuk mengungkap misteri tersebut. Pertanyaannya, apakah bahaya Gunung Toba sudah lewat atau jangan-jangan ia adalah 'raksasa tidur' yang menunggu untuk bangun?

Para peneliti memprediksi, erupsi dahsyat Danau Toba berpotensi terjadi lagi. Namun, jangan buru-buru khawatir, peristiwa tersebut diperkirakan tak akan terjadi dalam waktu dekat.

Sebuah model menunjukkan bagaimana kolam magma tumbuh di bawah kaldera Toba. Meski terlihat tenang, peneliti mengatakan bahwa 'mesin' yang menghasilkan magma akan terus aktif.

Dikutip dari International Business Times, Selasa (23/8/2016), bagaimana dan kapan erupsi tersebut akan terjadi lagi, hingga kini belum diketahui secara pasti.

Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Nature, sebuah tim ilmuwan internasional membuat model yang menunjukkan bagaimana magma berkumpul di bawah kaldera--kawah di mana Danau Toba berlokasi.

Para peneliti menggunakan data seismik untuk melacak sistem saluran Toba. Hasilnya, mereka memperoleh saluran rumit dengan magma yang bergerak naik melalui tingkat tertentu.

Ilustrasi letusan dahsyat (Ivan Koulakov)

Tim tersebut juga melacak magma hingga kedalaman 150 km. Pada tingkat tersebut, sejumlah besar unsur-unsur kimia atmosfer, dikenal sebagai volatil, dihasilkan di subduksi--batas antar lempeng yang bersifat konvergen.

Mereka kemudian bergerak ke atas dan mencair, berkumpul di dasar kerak dan menciptakan waduk magma seluas 50.000 kilometer kubik dengan kedalaman 75 kilometer.

Proses tersebut terus berulang untuk membentuk kerak waduk dangkal yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya letusan dahsyat.

Sistem tersebut mirip dengan yang ditemukan di supervolcano Yellowstone di Amerika Serikat. Peneliti mengatakan, hal tersebut menunjukkan bahwa waduk magma yang luas dan padat di bawah kerak Bumi, merupakan mekanisme kunci penyebab letusan dahsyat.

Walaupun terdapat kemungkinan letusan dahsyat terjadi lagi, para ilmuwan mengatakan bahwa kita tak perlu panik dengan hal tersebut.

"Terdapat kemungkinan bahwa, dalam jangka waktu panjang, letusan besar akan terjadi berulang kali hingga (sistem patahan) Investigator Fracture Zone, di mana menjadi sumber terbesar letusan dahsyat, menghujam ke bawah Toba," tulis ilmuwan.

"Massa kritis dari magma cair dan volatil di kerak kemungkinan belum dicapai, dan letusan dahsyat berikutnya tampaknya akan terjadi dalam beberapa puluh ribu atau ratusan ribu tahun mendatang," jelas mereka.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya