Perang Melawan Narkoba di Filipina Tewaskan 1.916 Orang

Kepala Kepolisian Filipina mengakui, ada 756 terduga pengedar narkoba yang tewas di tangan polisi. Sisanya korban main hakim sendiri.

oleh Nurul Basmalah diperbarui 23 Agu 2016, 21:59 WIB
Salah satu korban penembakan tak dikenal terkait narkoba (Reuters)

Liputan6.com, Manila - Sejak Rodrigo Duterte menjabat menjadi Presiden Filipina pada Juni lalu, lebih dari 1.900 orang tewas terbunuh dalam operasi pemberantasan narkoba yang gencar dilakukan belakangan ini.

Fakta tersebut mendorong anggota Senat Filipina untuk melakukan investigasi terkait perang narkoba Presiden Duterte yang menghebohkan dunia itu.

Seperti dikutip dari Business Insider, Selasa (23/8/2016), Kepala Kepolisian Nasional Filipina, Ronald dela Rosa melaporkan, dari 1.916 terduga pengedar narkorba yang tewas, 756 di antaranya kehilangan nyawa dalam penggerebekan polisi atas perintah Duterte sejak 1 Juli 2016.

Sementara itu, sisanya diduga dilakukan oleh kelompok warga yang main hakim sendiri. "Tidak semua yang meninggal dunia di tengah investigasi terkait narkoba," kata dia kepada Reuters.

Dela Rosa menambahkan, tak ada perintah bagi polisi untuk membunuh pengguna atau pengedar narkoba. "Kami bukan tukang jagal," kata dia.

Dia menambahkan, ada sekitar 300 polisi yang diduga terkait perdagangan narkoba. Ancaman pemidanaan atau pecat diberlakukan pada mereka.

"Sementara hampir 700 ribu pengguna dan pengedar telah menyerahkan diri sejak kampanye pemberantasan dilakukan," tambah dela Rosa.

Presiden terpilih Filipina Rodrigo Duterte memberikan pidato usai dilantik di Istana Malacanang di Manila, Filipina, Kamis (30/6). Rodrigo mengatakan akan menerima mandat rakyat itu dengan kerendahan hati. (REUTERS/Erik De Castro)

 

Setelah resmi menjabat presiden, Duterte  melaksanakan sumpahnya untuk memberantas narkoba. Sebelumnya, ia menganjurkan warga untuk menembak atau membunuh pengedar narkoba yang menolak ditangkap. Duterte juga mengatakan, membunuh tersangka kasus barang haram itu sah jika polisi dalam posisi membela diri.

Sebelumnya, Ronald dela Rosa dihadirkan dalam sidang Senat yang membahas tentang strategi aparat dalam perang melawan narkoba.

Senat juga mendengar keterangan saksi mata yang mengatakan bahwa polisi menembaki keluarganya yang diduga terlibat dalam penjualan obat ilegal.

Sementara, Senator Leila de Lima, pimpinan Komisi Hukum Senat mengatakan bahwa dia khawatir perang terhadap narkoba disalahgunakan dalam aksi pembunuhan dengan impunitas, di mana pelakunya tak akan dihukum.

Senator de Lima beranggapan demikian akibat banyaknya kasus pembunuhan yang masih belum teridentifikasi dan tidak dilakukan secara legal.

"Kami ingin mengetahui kebenaran di balik semua pembunuhan dan kekerasan ini. Apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa hal ini masih terus terjadi?" kata de Lima dalam Bahasa Tagalog.

"Aku tidak mengatakan bahwa pembunuhan ini tidak memiliki dasar legal, tapi, terlalu terlalu banyak orang yang dibunuh sehingga menimbulkan kecurigaan," sambung senator itu.

Pembunuhan masal di Filipina bahkan membuat PBB bereaksi, dengan mendesak negara tersebut untuk menghentikan kematian demi kematian yang terjadi. 

Reaksi PBB membuat berang Duterte. Ia balik mengancam bahwa negaranya akan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Menyusul komentar yang menghebohkan itu, Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Yasay menegaskan, negaranya tidak akan keluar dari keanggotaan PBB.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya