Liputan6.com, Sragen - Kulit wajahnya sudah berkeriput. Tinggi lelaki tua ini sekitar 160 sentimeter. Setiap hari ia tak mengenakan sandal. Saat ini lelaki yang yang konon sudah berumur di atas 100 tahun itu hanya duduk di rumahnya yang sangat sederhana.
Setiap harinya, ia hanya menghabiskan waktunya dengan duduk menghadap pintu di rumahnya yang beralamat di Dusun Segeran, Desa Ceeng, Kecamatan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah. Di balik pintu atau samping kursi tempat duduknya terdapat ranjang tua dengan kasur kapas yang sudah tipis. Ada sebuah meja, yang menjadi tempat cucu-cucunya untuk menghidangkan makanan dan minuman.
Ia sudah tidak bisa berjalan. Untuk mandi dan makan, ia selalu dibantu cucunya yang bergantian menyambanginya. Lantaran sudah berusia tua, kemampuan mendengarnya sudah menurun. Untuk berkomunikasi dengannya, maka harus mengeluarkan volume suara yang kencang di dekat telinga.
Baca Juga
Advertisement
Pun dengan kemampuan indera penglihatannya juga sudah menurun. Meski demikian, lelaki tua ini jika diajak berkomunikasi masih bisa nyambung. Terlebih jika diajak ngobrol tentang masa-masa lalu, mulai dari pengalamannya saat zaman penjajahan ataupun saat ia berburu ikan di sungai.
Begitulah sekilas tentang seorang lelaki bernama Sodimejo--atau lebih sering dipanggil dengan nama Mbah Gotho. Lelaki tua ini memiliki keunikan lantaran umurnya yang mencapai 146 tahun.
Penghitungan umur dari Mbah Gotho ini unik. Lantaran bukti-bukti fisik yang menunjukkan kapan dirinya lahir sudah tidak ditemukan, maka penghitungannya adalah berdasar cerita masa lalunya yang mengiringi proses kehidupannya.
Satu penanda dari penghitungannya adalah pendirian Pabrik Gula Gondang di Sragen, Jawa Tengah, pada 1880. Menurut cerita Mbah Gotho, saat pendirian pabrik itu, dirinya sudah lahir bahkan sudah menapaki umur remaja. "Gondang ada, saya sudah lahir," kata Mbah Gotho singkat.
Saat zaman penjajahan Belanda, Mbah Gotho memiliki pengalaman juga. Ia teringat saat masa penjajahan ada tentara Indonesia yang kena tembak. Ia bersama temannya menggotong sang tentara bersama untuk mengobati sang pejuang kemerdekaan itu. "Zaman penjajahan saya sudah punya anak dua," kata dia.
Berdasar keterangan itulah, Mbah Gotho sudah berumur lebih dari 146 tahun. Sesuai data kependudukan di KTP, Mbah Gotho lahir pada 31 Desember tahun 1870. Mbah Gotho merupakan anak kedua dari 11 bersaudara. Sesuai KK, ia merupakan putra dari pasangan Setrodikromo dan Saliyem.
Salah satu cucu si Mbah, Suryanto, mengatakan seluruh saudara kakeknya sudah meninggal.
"Semua sudah meninggal. Ini tinggal Mbah Gotho saja. Teman-temannya juga sudah enggak ada di kampung ini yang masih hidup," kata Suryanto.
Keseharian Mbah Gotho saat ini adalah hanya duduk. Kadang kala ia mendengarkan radio, tapi volume suaranya harus keras. Maklum jika melihat televisi, ia tidak bisa maksimal menikmatinya. Kemampuan melihatnya minim.
"Kalau soal makanan, Mbah Gotho ini tidak pernah rewel. Makan apa saja pasti mau. Minum es teh masih bisa. Tapi sejak tiga bulan ini harus disuapi saat makan. Harus dimandikan karena sudah benar-benar tua," kata Suryanto.
Mbah Gotho memiliki empat istri. Seluruh istrinya ini sudah meninggal, termasuk anak-anaknya. Sepengetahuan Suryanto, Mbah Gotho ini ditinggal istrinya yang terakhir sudah lama, sejak 1988.
"Jika dihitung-hitung turunan keluarga Mbah Gotho itu sudah empat kali. Anak, cucu, cicit, dan canggah. Anak-anaknya sudah tidak ada. Ini yang ada tinggal cucu, cicit, dan canggah," ucap Suryanto.