Liputan6.com, Jakarta - Perintah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo agar seluruh warga membuat KTP Elektronik (e-KTP) disambut beragam oleh warga. Melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Menteri Tjahjo memberi tenggat waktu batas akhir pembuatan e-KTP hingga 30 September 2016.
Dirjen Dukcapil Kemendagri Arif Zudan Fakrulloh menegaskan, data e-KTP diperlukan untuk database agar dapat diakses, baik oleh perbankan, BPJS, dan lembaga pelayanan masyarakat lainnya.
Advertisement
"Untuk itu, Kemendagri memberikan tenggat waktu pengurusan e-KTP itu sampai dengan 30 September 2016 mendatang," kata Zudan di Jakarta seperti dikutip dari setkab.go.id, Selasa, 23 Agustus 2016.
Seruan Mendagri itu menimbulkan kehebohan di sejumlah daerah. Banyak warga yang khawatir bila belum mengubah KTP lama menjadi e-KTP akan menemukan kesulitan dalam proses kependudukan. Imbasnya, warga pun beramai-ramai membuat e-KTP dalam waktu bersamaan.
Seperti yang terjadi di Jombang, Jawa Timur. Warga yang takut tak mendapat jatah e-KTP bahkan sampai rela menginap di kantor kecamatan untuk mendapatkan nomor antrean pembuatan e-KTP.
Sedikitnya 45 warga dari 5 kecamatan di Jombang memutuskan untuk menginap di teras dan pendopo kecamatan sejak Selasa, 23 Agustus 2016. Warga mengaku khawatir kehabisan nomor antrean. Pasalnya kantor kecamatan diwilayah mereka hanya dapat melayani 40 warga setiap harinya.
Untuk mengatasi antrean yang semakin menumpuk, selain di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), pemerintah Kabupaten Jombang juga membagi pelayanan e-KTP dan kartu keluarga ke dalam 5 rayon.
Aksi warga yang mendadak 'demam' e-KTP ini dianggap sebagai hal yang aneh bagi Menteri Tjahjo Kumolo. Semestinya, kata Tjahjo, warga sudah mengurus dari jauh-jauh hari, bukan karena diberi batas waktu.
"Kita lihat di media, orang sampai tidur di Dukcapil. Kemarin kemana enggak mau urus?" ujar Tjahjo di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis, 25 Agustus 2016.
Keterbatasan SDM
Dia mengungkapkan, banyak daerah yang warganya belum terekam data e-KTP, termasuk beberapa daerah di Pulau Jawa. Agar mencapai target, ia meminta agar pemerintah daerah lebih proaktif menghampiri warga yang belum terdata.
"Jawa Barat saja, Pangandaran masih besar yang belum rekam datanya. Harusnya kan jemput bola bawa motor datangi di pantai, di desa. Orang kan susah kalau yang kerja harian dia menyisihkan waktu 2-3 jam kadang susah," jelas politisi PDI Perjuangan itu.
Dia memahami keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah memang menjadi kendala. Tapi, bukan tidak mungkin tindakan jemput bola pemerintah yang mendatangi warga dapat dilakukan.
"Cukup dua orang naik motor bawa alat rekam door to door bisa kok sekaligus dengan akta kelahiran. 256 juta baru 60% yang punya akte kelahiran. Masih 20 juta yang belum mau rekam datanya padahal kan menyangkut orang mau bikin kartu BPJS, cari kerja, bikin paspor harus punya KTP," kata Tjahjo.
Ia pun menyebut masih ada 22 juta warga negara Indonesia (WNI) yang belum merekam maupun memperbarui data e-KTP. Banyak kendala yang menyebabkan hal tersebut. Salah satunya keterbatasan kemampuan petugas.
"Mohon dimaafkan SDM kita (di daerah) mungkin tidak sama dengan di Jakarta yang cepat," kata Tjahjo.
Sanksi yang Belum ber- e-KTP
Direktur Jenderal (Dirjen) Dukcapil Kemendagri Arif Zudan Fakrulloh mengungkap ada sanksi administrasi yang diterima masyarakat bila tak segera membuat e-KTP. Sanksi administrasi dalam bentuk penonaktifan KTP ini akan membuat penduduk tidak mendapatkan pelayanan publik.
Contohnya, BPJS, itu kan basisnya Nomor Induk Kependudukan (NIK), kemudian membuka kartu perdana itu basisnya NIK. Jika NIK tidak muncul, maka hak dia sebagai penduduk Indonesia tidak akan bisa dipenuhi," kata Zudan di Jakarta seperti dikutip dari laman setkab.go.id, Selasa (23/8/2016).
Ia menambahkan, contoh lain dari pelayanan publik yang tak bisa didapatkan bila tak membuat e-KTP yaitu layanan perbankan, layanan kepolisian, layanan kesehatan, layanan izin mendirikan bangunan, surat izin perkapalan, dan lain-lain.
Zudan juga menegaskan, data penduduk ini harus tunggal tidak boleh ganda. Berdasarkan pantauan yang ada, masih terdapat banyak warga Indonesia yang menggunakan lebih dari tiga KTP. Bagi masyarakat yang datanya sudah dinonaktifkan, jelas dia, bisa langsung mengurus ke Dinas Dukcapil setempat.
"Untuk masyarakat nanti yang datanya sudah dinonaktifkan bisa langsung datang ke Dinas Dukcapil, bukan kecamatan dan bukan juga kelurahan, karena kecamatan dan kelurahan hanya bisa membaca bukan mengakses," Zudan menegaskan.
Terhambat Blanko
Tak hanya masalah di SDM, lambatnya pembuatan e-KTP juga disebabkan tidak tersedianya blangko Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) disejumlah daerah. Seperti yang terjadi di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Dinas Dukcapil setempat terpaksa menghentikan pencetakan karena blangko Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) kosong.
Kadis Dukcapil Brebes, Asmuni, mengatakan blangko e-KTP akan diambil ke Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri dalam waktu dekat untuk mengatasi kekosongan.
"Setiap minggu, saya terus bolak balik ke Jakarta ambil blanko KTP-el. Per hari Rabu ini di sini blangko kosong. Tapi, dalam waktu dekat ini, akan segera datang 6.000 blangko," ucap Asmuni kepada Liputan6.com di Brebes, Jateng, Rabu, 23 Agustus 2016.
Asmuni mengaku daftar tunggu cetak e-KTP atau KTP-el sudah terjadi sejak Mei lalu. Hingga 31 Juli kemarin, lanjut dia, daftar tunggu pencetakan KTP-el sudah sampai sekitar 42 ribuan. Meski begitu, pihaknya masih melayani perekaman identitas.
"Mulai per 1 Agustus sampai sekarang sudah di angka 10 ribuan. Memang segera datang 6.000 blangko. Tapi kan jumlah itu masih kurang dari kebutuhan," ucap dia.
Tak hanya di Brebes, kekosongan Blanko juga terjadi di Kabupaten Purwakarta. Ini mengakibatkan sebanyak 24.656 warga Purwakarta yang telah merekam data belum mendapat e-KTP. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi pun mendesak agar Presiden Jokowi segera mengambil tindakan dengan mengeluarkan Keppres yang mengatur pencetakan dan pendistribusian e-KTP.
Dedi mengatakan pengadaan blanko tidak perlu tersentralisasi di pusat, tapi bisa tersebar di seluruh kabupaten/kota dengan merujuk standardisasi nasional. Jika terus menerus menunggu dari pusat, kata Dedi, proses e-KTP akan semakin lama karena blanko terus menerus habis.
"Nanti dibuat pengadaannya merata merujuk pada kebutuhan kota atau kabupaten. Nanti sifatnya bisa digabung per daerah seperti Purwakarta-Subang-Karawang atau per satu kabupaten/kota bisa melakukan pengadaannya sendiri sesuai kebutuhan," kata Dedi di Purwakarta, Rabu, 24 Agustus 2016.
Bantahan Mendagri
Adanya kekosongan Blanko dibantah oleh Menteri Tjahjo Kumolo, ia menjamin ketersediaan blanko e-KTP cukup untuk memenuhi kebutuhan saat ini. Yang terpenting, seluruh warga sudah melakukan perekaman data sebelum 30 September 2016.
"Saya kira blanko cukup. Kita masih ada stok 4,5 juta ada kok," kata Tjahjo di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (25/8/2016).
Hanya, yang sedang diantisipasi oleh Kemendagri adalah penumpukan blanko di berbagai daerah. Bisa saja, Kemendagri menyerahkan 1 juta blanko e-KTP ke daerah tertentu. Tapi, mereka juga tidak bisa menggunakan secara maksimal.
"Kami enggak mau kalau satu daerah bilang minta 1.000, lalu kami kasih tapi tidak proaktif untuk habiskan 1.000. Butuh berapa? 10 ya kirim 10, jangan ditumpuk di daerah. Di daerah pun kami ambil karena kamu juga enggak habis, tidak jemput bola. Kami ambil lagi, serahkan ke yang lain," jelas Tjahjo.
Advertisement
Ternyata Hanya Uji Coba
Batas waktu kepada warga untuk merekam data e-KTP hingga 30 September 2016 membuat warga heboh. Keputusan ini membuat masyarakat bergegas mengurus perekaman data karena khawatir tak bisa lagi membuat e-KTP jika melewati batas waktu.
Sebelum kehebohan dan kepanikan warga berlanjut, Menteri Tjahjo mengklarifikasi bahwa batas waktu yang diberikan pemerintah kepada warga hanya untuk uji coba.
Pemberian batas waktu ini dilakukan agar masyarakat bergegas melakukan perekaman data.
"Deadline 30 September itu kan hanya percobaan saja, karena ini amanat undang-undang. Kalau kita konsisten dengan amanat undang-undang tahun 2015 harusnya kan masih tambah 1 tahun. Sehingga bisa menggerakkan orang untuk datang," jelas Tjahjo di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (25/8/2016).
Pengurusan e-KTP di berbagai kantor pemerintahan sebenarnya dilakukan setiap hari. Mereka yang baru menikah, pindah alamat, atau baru 17 tahun tentu mengurus KTP. Hanya saja, animo masyarakat untuk datang langsung merekam data sangat minim.
"Yang di kota saja enggak mau datang ke kecamatan. Untuk rekam data saja masih 20 juta lho (yang belum rekam)," jelas Tjahjo.
Ia memastikan, batas waktu yang diberikan pemerintah tidak serta-merta bersifat final. Hal ini untuk menggugah kembali kesadaran masyarakat terkait kepemilikan NIK. Nomor induk ini hanya bisa didapat setelah merekam data di sentra pelayanan publik milik pemerintah.
"Niatnya mengajak masyarakat untuk ayo dong meluangkan waktu untuk ini. Ini kan penting," tambah Tjahjo.
Mantan Sekjen PDI Perjuangan itu mengatakan, pemerintah ingin seluruh masyarakat memiliki nomor induk kependudukan. Kepemilikikan NIK ini juga akan memudahkan warga dalam mengurus administrasi lainnya. "Kita inginkan nomor induk sudah dimiliki satu orang. Jadi besok tidak bawa macam-macam kartu, cukup 1 saja," kata Tjahjo.
Pemerintah sengaja menetapkan 30 September 2016 sebagai batas waktu perekaman data e-KTP. Sehingga akhir 2017 sudah selesai. "Kita bertahaplah. Target kami akhir 2017 selesai," lanjut dia.
Tak hanya itu, NIK yang ada pada e-KTP juga menjadi basis data dalam pemilihan umum 2019. Seperti diketahui, pemilu 2019 direncanakan dilakukan serentak baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden.
"Untuk kepentingan politik e-voting, untuk kepentingan lain dari SIM dari apa cukup ajukan itu. Kalau e-voting cukup masukkan alat, selesai," Tjahjo menandaskan.