Liputan6.com, Bandung - Di balik melandainya popularitas Pokemen Go, setidaknya ada dua pelajaran penting yang bisa Indonesia adopsi.
Dimitri Mahayana, Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung, mengatakan, data survei pihaknya maupun firma asing menunjukkan penurunan drastis permainan tersebut.
Riset Android Headlines kepada 1.162 responden pengguna Pokemon di Inggris pada 16 Agustus 2016 menunjukkan, 76% menyatakan mulai bosan dan meninggalkan gim (game) Pokemon Go dan 11% lainnya tidak yakin bosan. Hanya 13% yang menjawab masih memainkan.
"Ekonomi disruptif nampaknya memang amat ringkih, sangat volatile. Di sisi lain, banyak sisi negatif muncul, mulai dari pelarangan main Pokemon Go di Iran hingga dikeluarkannya fatwa larangan di Malaysia. Gabungan resiko keamanan secara online maupun offline dikhawatirkan ganggu kedaulatan negara," katanya kepada tim Tekno Liputan6.com di Bandung, Kamis (25/8/2016).
Selain itu, isu keselamatan juga menjadi salah satu isu besar, khususnya beberapa kecelakaan dan perampokan terjadi karena pemain tidak memperhatikan lingkungan sekitar. Untuk itulah, ada dua pelajaran penting yang dapat diambil.
Baca Juga
Advertisement
Pertama, semua pihak harus melihat tren layanan teknologi informasi komunikasi (TIK) ke depan adalah kombinasi augmented reality dan IoT (Internet of Things) yang haus bandwith.
Keduanya digerakkan tiga platform utama yakni Internet, Android, dan Google Map, sehingga tercipta kemungkinan layanan dan model bisnis baru di segala bidang kehidupan. Mulai dari bisnis, perdagangan, hingga pendidikan.
"Kita harus ambil pelajarannya bahwa konvergensi cyber space dan physical space itu melejitkan bisnis online. Kekuatan keduanya membuat nilai layanan menjadi berlipat ganda," katanya.
Dia kemudian mencontohkan aplikasi Go-Jek, yang memasukkan peta dan gerakan di ruang fisik ke ruang siber. Gerakan driver Go-Jek di ruang fisik bisa diamati secara real time oleh pengguna. Pun demikian, gerakan kustomer di ruang fisik bisa diamati sopir secara real time.
Atau sebaliknya, masuknya karakter dunia siber yang sudah lama populer (semacam Pokemon) ke dalam dunia fisik sehingga memiliki kekuatan gravitasi dalam menarik pelanggan datang ke area-area tertentu.
"Pelajaran kedua adalah harus mengoptimalkan augmented reality (AR), terutama untuk pengalaman virtual try-and-buy. Dengan ini konsumen dapat mencoba produk secara virtual hingga akhirnya tertarik dan membeli produk tersebut," katanya.
Riset menunjukkan, AR mampu menjadi kanal pemasaran lebih efektif untuk mainan anak dari pola konvensional. Sebab, rerata uang pembelian menjadi lebih tinggi (7,99 pound dibandingkan 5,99 pound) dengan dukungan orang tua lebih besar kepada anak.
Di lain pihak, AR juga dapat mengurangi 15-35% jumlah panggilan ke call center sehingga mengurangi volume call center dan biaya operasional. Sebab, konsumen dapat menyelesaikan masalah sendiri dengan panduan, video, atau FAQ yang diperlihatkan via AR.
"Contoh riilnya adalah wahana terbaru Disney bertemakan Star Wars yang menampilkan berbagai konten eksklusif, animasi dan kesempatan berfoto menggunakan AR. Ini meningkatkan penjualan tiket masuk hingga 25% daripada tahun sebelumnya ketika belum menggunakan AR," pungkasnya.
(Msu/Ysl)