Liputan6.com, Jakarta Pendidikan bahasa (dan sastra) memang tidak cukup hanya mengandalkan segi-segi taktis, seperti adanya perubahan pengajaran atau pengembangan kurikulum. Perbaikan itu harus disertai pengembangan sumber daya guru dan pemerkaayaan khasanah bacaan/buku bahasa (dan sastra).
Pembelajaran bahasa (dan sastra) yang baik dapat melahirkan peserta didik yang terampil menggunakan bahasa secara baik. Pembelajaran bahasa (dan sastra) yang baik dapat menghadirkan pengalaman estetik dan mengembangkan kemampuan bahasa peserta didik, sekaligus mendorong siswa untuk gemar membaca.
Advertisement
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa peserta didik yang kemampuan bahasanya tinggi adalah mereka yang banyak membaca. Ada hubungan yang erat antara kebiasaan membaca dengan peningkatan kecerdasan bahasa.
Lalu, dapatkah pembelajaran bahasa (dan sastra) yang baik mengembangkan kecerdasan sosial (interpersonal) dan kecerdasan kepribadian (intrapersonal) peserta didik? Contohnya pembelajaran sastra di sekolah. Selain perannya sebagai sarana pengembangan kecerdasan bahasa, sastra sangat potensial untuk pengembangan kecerdasan sosial peserta didik.
Adapun peserta didik yang mempunyai kecerdasan intrapersonal adalah mereka yang mempunyai kemampuan memahami kehidupan emosional, membedakan emosi orang-orang, Pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri. Pengembangan “daya rasa dan pikir” yang tersirat dalam penceritaan dengan imajinasi sebagai wilayahnya yang senantiasa terus bergerak membantu perenungan tentang yang ada dalam “diri” ini.
Jika selama ini kita banyak diajari hal-hal yang berkaitan dengan fakta, sastra justru menawarkan hal lain, yaitu mengasah rasa, pikiran, dan imajinasi personalitas.
Kementerian Pendidikan Nasional pun telah menawarkan tentang keterampilan hidup (life skill) sebenarnya sudah lama menjadi angan-angan praktisi pendidikan dengan harapan mampu membentuk perubahan pola pikir, yaitu suatu inovasi pembelajaran yang dapat membantu peserta didik memahami teori secara mendalam melalui pengalaman belajar praktik-empirik.
Peserta didik dibawa dalam suasana pembelajaran untuk membangun jati diri (learning to be) dan pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis (learning to live together). Model pembelajaran ini pun dapat menjadi program pendidikan yang mendorong kompetensi, tanggung jawab, dan partisipasi peserta didik, belajar menilai dan mempengaruhi kebijakan umum, memberanikan diri untuk berperan serta dalam kegiatan antar peserta didik, antar sekolah, dan antar anggota masyarakat.
Dengan membawa konsep keterampilan hidup dalam pembelajaran bahasa (dan sastra), secara langsung maupun tak langsung, akan memunculkan daya kritis peserta didik. Membawa keterampilan bahasa dan karya sastra dengan konteks masalah dan fakta kehidupan yang ada di seputar kehidupan peserta didik dibutuhkan inovasi yang dilakukan guru, termasuk inovasi-inovasi dalam pengujiannya. Inilah makna kompetensi dalam pembalajaran bahasa (dan sastra), yaitu menumbuhkan keyakinan untuk mampu melakukan sesuatu, yaitu melibatkan peserta didik untuk mengambil bagian dalam program keterampilan hidup (lifeskill).
(Adv)