Liputan6.com, Jakarta - Jam menunjukkan pukul 09.50 WIB. Antasari Azhar tiba di Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Dia diperiksa sebagai saksi. Namun, dalam waktu jam, publik dikagetkan oleh perubahan status pria yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Antasari ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, Senin 4 Mei 2009.
Pukul 14.00 WIB hari yang sama, Antasari diperiksa kembali dalam status tersangka. Pada waktu yang singkat pula, penyidik menerbitkan surat perintah penahanan terhadap mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat tersebut.
Advertisement
Kasus ini menjadi sorotan publik kala itu. Terlebih, KPK tengah menjadi buah bibir karena berhasil mengungkap sejumlah kasus korupsi besar, seperti suap terkait penanganan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyeret jaksa Urip Tri Gunawan dan makelar kasus Arthalita Suryani alias Ayin.
Lima bulan kemudian, tepatnya Kamis 8 Oktober 2009, Antasari Azhar menghadapi sidang perdananya bersama tiga tersangka lainnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tiga tersangka lainnya itu adalah mantan Kapolres Jakarta Selatan, Kombes Williardi Wizzard, pengusaha Sigid Haryo Wibisono, dan Jerry Hermawan Lo.
Pada pertengahan sidang itu, keluarga mulai curiga. Kecurigaan tersebut mulai muncul saat jaksa menyebut soal SMS ancaman.
"Kemudian pas Pak Andi Syamsuddin, adik Pak Nasrudin, bersaksi di sidang, beliau mengatakan tidak pernah melihat SMS ancaman," ujar pengacara keluarga bos PT Putra Rajawali Bantaran Nasrudin Zulkarnaen, Boenyamin Saiman, kepada Liputan6.com, Sabtu (27/8/2016)
Padahal saat penyidikan, kepada dia, polisi mengatakan Andi telah melihat SMS tersebut. Hal itu diungkapkan penyidik ketika Boenyamin meminta bukti adanya pesan singkatnya.
"Lalu pas di sidang saya konfirmasi. Katanya Pak Andi sudah lihat SMS. Pak Andi mengatakan, 'Lho, saya mau lihat dibilangnya Pak Boenyamin sudah melihat.' Nah, sejak saat itu, kita mulai curiga, kok kayak diadu domba begini," Boenyamin menjelaskan.
Kasus itu pun dinilai semakin aneh dengan kemunculan Rani Juliani. Perempuan yang mengaku sebagai istri ketiga Nasrudin tersebut mengatakan mendapat perlakuan tidak senonoh dari Antasari.
"Sampai sekarang tidak ada yang bisa menunjukkan SMS ancaman itu. Jangankan SMS, aliran data, misalkan saya kirim SMS ke kamu, itu kan ada potongan pulsanya, itu tidak bisa menunjukkan. Apa motifnya? Lalu adanya kemunculan Rani, kasusnya semakin bias," tukas Boenyamin.
Oleh karena itu, pihak keluarga Nasrudin segera membangun komunikasi dengan pengacara Antasari. Mereka pun berdiskusi tentang kejanggalan-kejanggalan sidang pria berkumis tebal tersebut.
Keluarga Nasrudin pun mati-matian membantu Antasari mencari bukti baru untuk membebaskan pria yang lahir di Pangkal Pinang, 18 Maret 1953 itu.
"Kenapa? Karena kami merasa dimanfaatkan. Bagaimana rasanya kalau ada anggota keluarga yang dibunuh untuk dijadikan alat menjatuhkan orang lain? Kami ini dua duanya korban. Oleh karenanya, keluarga berkepentingan mengungkap siapa pelakunya," ucap Boenyamin.