Liputan6.com, Jakarta - Penyemprotan air ke pesawat atau water salute menyambut kedatangan pesawat yang membawa rombongan atlet kontingen Olimpiade Rio de Janeiro, Brasil di Bandara Soekarno Hatta, Selasa sore, 22 Agustus 2016.
Seturunnya dari pesawat, para atlet itu, terutama peraih medali emas Tontowi Ahmad (Owi) dan Liliyana Natsir (Butet) pun dielu-elukan.
Advertisement
Seperti ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, Sabtu (27/8/2016), para atlet tersebut diarak dari bandara menuju Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) menggunakan bus. Di sini mereka disambut Menpora Imam Nahrawi.
Penyambutan meriah dan kegembiraan itu memang sudah selayaknya. Satu medali emas dan dua medali perak dari ajang olahraga paling akbar sejagat, Olimpiade, adalah pencapaian besar yang pantas dirayakan.
Bahkan esoknya, rombongan atlet diboyong ke Istana Merdeka untuk merayakan kegembiraan itu bersama Presiden Joko Widodo.
Adalah Sri Wahyuni Agustiani yang mempersembahkan medali perak pertama dari cabang angkat besi kelas 48 kilogram. Total angkatan Sri 192 kilogram. Ia kalah dari lifter Thailand, Tanasan Sopita yang membukukan angkatan total 200 kilogram.
Empat hari kemudian giliran Eko Yuli Irawan mempersembahkan medali perak kedua, juga dari cabang angkat besi.
Bermain di kelas 62 kilogram, Eko membukukan total angkatan 312 kilogram. Emas di nomor ini diraih atlet Kolombia, Figuero Mosquera dengan total angkatan 318 kilogram.
Sementara itu, medali emas dipersembahkan ganda campuran bulu tangkis Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Di final pasangan peringkat 3 dunia itu menaklukkan pasangan Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying.
Sebenarnya sempat ada harapan emas dan perak dari nomor ganda campuran bulu tangkis diraih Indonesia. Ini setelah pasangan Indonesia lainnya, Praveen Jordan/Deby Susanto melaju ke perempat final.
Kalau saja Praveen/Deby bertemu Owi dan Butet di final, tentu emas dan perak kita raih. Tapi aturan yang berlaku memaksa kedua pasangan kita itu bertemu di perempat final. Sehingga hanya satu pasangan Indonesia yang maju ke semifinal dan akhirnya ke final, yaitu Owi dan Butet.
Sukses Owi dan Butet meraih medali emas tentu saja disambut gembira masyarakat Indonesia. Terlebih emas itu didapat pada 17 Agustus, atau tepat pada Hari Ulang Tahun ke 71 Kemerdekaan Indonesia.
Menpora Imam Nahrawi merayakan medali emas itu dengan melaksanakan nazarnya, yaitu mencukur rambut dan kumis.
Sebagai penghargaan, pemerintah memberikan bonus bagi para peraih medali. Sri Wahyuni dan Eko Yuli Irawan yang meraih perak diganjar masing-masing uang Rp 2 miliar. Sedangkan Owi dan Butet yang menyumbang medali emas masing-masing mendapat Rp 5 miliar.
Sementara dibanding Olimpiade sebelumnya, yaitu Olimpiade London tahun 2012, perolehan medali di Olimpiade Rio de Janeiro memang lebih baik. Saat itu Indonesia hanya mendapat emas dan perunggu dari cabang angkat besi putra.
Namun dibanding olimpiade-olimpiade sebelumnya, prestasi kita kali ini turun. Bahkan pada Olimpiade Barcelona 1992, saat bulu tangkis untuk pertama kali dipertandingkan, Indonesia berhasil meraih dua medali emas.
Allan Budikusuma menyumbang emas dari bulu tangkis tunggal putra dan Susi Susanti dari nomor tunggal putri.
Bulu tangkis adalah cabang olahraga yang selalu menyumbang emas untuk Indonesia di Olimpiade. Kecuali, pada Olimpiade London 2012.
Selain Allan Budikusuma dan Susi Susanti, pebulu tangkis yang mempersembahkan emas di Olimpiade adalah pasangan Ricky Subagja/Rexy Mainaki, pasangan Tony Gunawan/Candra wijaya, Taufik Hidayat, pasangan Hendra Setiawan/Markis Kido, dan akhirnya Tontowi/Liliyana.
Bersama beberapa cabang olahraga lain yang berpotensi mendatangkan medali di Olimpiade seperti angkat besi, bulu tangkis layak mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Dan memang, begitulah kebijakan pemerintah.
Olimpiade Rio usai sudah. Amerika Serikat mendapat medali terbanyak, disusul Inggris, China, dan Rusia. Sedangkan Indonesia berada di peringkat 46.
Tak perlu berkecil hati. Kita bisa dan harus bekerja lebih keras untuk memperbaiki prestasi.
Olimpiade Tokyo tahun 2020 mendatang akan menjadi ajang pembuktian. Apakah olahraga kita hanya berjalan di tempat atau bahkan mundur, atau kita sanggup membuat lagu Indonesia Raya dikumandangkan lagi dan lagi.