Liputan6.com, Jakarta - Bari-baru ini, raksasa penyedia transportasi berbasis aplikasi asal Amerika Serikat, Uber, dikabarkan mengalami kerugian hingga US$ 1,27 miliar atau setara dengan Rp 16,8 triliun.
Meski demikian, menurut Business Insider sebagaimana dikutip Tekno Liputan6.com, Senin (29/8/2016), Uber memiliki nilai valuasi hingga US$ 69 miliar atau sekitar Rp 920 triliun. Hal ini membuat Uber menjadi salah satu startup dengan nilai tertinggi.
Hasil riset World Economic Forum yang dipublikasikan Mei 2016 mencatat bahwa Uber termasuk salah satu perusahaan yang mengalami pertumbuhan sangat cepat (hypergrowth). Saat itu, nilai valuasinya sekitar US$ 62 miliar atau setara Rp 815 triliun.
Selanjutnya, Juni 2016, Reuters melaporkan bahwa Uber mendapatkan suntikan dana yang besarnya mencapai US$ 3,5 miliar atau setara Rp 47,6 triliun. Saat itu Uber berencana melakukan ekspansi ke Timur Tengah dengan besar investasi US$ 250 atau sekitar Rp 3,4 triliun.
CEO Uber Travis Kalanick saat itu mengonfirmasi bahwa investasi yang diterima Uber tersebut dari perusahaan Arab.
Baca Juga
Advertisement
Selanjutnya, akhir Juli 2016, Uber melakukan ekspansi ke Tiongkok. Saat itu, Uber juga telah menempatkan server di Negeri Tirai Bambu untuk mendukung bisnisnya. Bersamaan dengan masuknya Uber, perusahaan yang juga bergerak di bidang serupa, Didi Chuxing, juga memulai bisnisnya di Tiongkok.
Namun, karena bisnis Didi Chuxing lebih mendominasi pasar hingga 87 persen, Uber pun dicaplok oleh perusahaan yang didukung oleh raksasa internet Alibaba itu.
Uber dikabarkan mendapatkan investasi sebesar US$ 1 miliar atau setara Rp 13 triliun dan menyerahkan 80 persen saham Uber di Tiongkok.
Secara global, bisnis Uber terus berjalan. Awal Agustus 2016, Uber merombak fitur navigasinya agar lebih optimal. Perusahaan yang bermarkas di San Francisco itu menggelontorkan dana US$ 500 juta atau setara dengan Rp 6,5 triliun untuk memaksimalkan fitur tersebut.
(Tin/Isk)