Liputan6.com, London - Putri Diana, meski telah tiada sejak 19 tahun lalu -- dan kehilangan gelar Her Royal Highness (HRH) pascaperceraiannya dengan Charles -- hingga kini sosoknya tetap dikenang sebagai putri kerajaan berparas cantik dan berjiwa sosial.
Kecelakaan tragis yang merenggut nyawanya pada 31 Agustus 1997 menggegerkan dunia. Mercedes hitam yang ditumpanginya menubruk dinding terowongan Pont de l'Alma, Paris, Prancis pukul 00.30 waktu setempat.
Advertisement
Diana masih bernyawa ketika kecelakaan dan sempat dilarikan ke Rumah Sakit Pitie-Salpetriere. Namun, ia dinyatakan meninggal pada usianya yang ke 36 tahun.
Meski Princess of Wales telah tiada, sejumlah kontroversi tentang dirinya masih terus bergulir hingga saat ini, termasuk perkara kematiannya.
Seperti dikutip dari News.com.au, salah satu teori konspirasi kematian Diana menyebut, sang putri diduga memalsukan kematiannya karena tak tahan dengan sorotan media yang selalu menguntitnya.
Bahwa Diana terkekang oleh popularitasnya memang pernah disampaikan keluarganya. "Lady Di merupakan orang yang paling diburu pada zaman modern. Tak mengherankan jika ia sering berkhayal untuk melarikan diri dari hidupnya," ujar saudara laki-laki Diana, Earl Spencer, dalam pidato pemakaman Princess of Wales tersebut seperti dikutip dari Daily Mail.
Diana kerap bermimpi hidup di luar Inggris, di mana ia bisa menikmati kebebasan. Sang Lady rela kehilangan impian ala 'negeri dongeng' -- bisa menikahi seorang pangeran -- yang sudah ada dalam genggamannya demi bisa menjadi orang biasa.
Namun, benarkah demikian? Tentu saja tidak. Bukti-bukti yang menguatkan kematian Diana, juga sang kekasih Dodi Al Fayed terlalu nyata dan kuat untuk dipalsukan. Sejumlah saksi mata yang menyaksikan saat-saat terakhirnya, mobil remuk, jenazah dalam peti, serta upacara pemakaman megah yang disaksikan dunia mustahil dimanipulasi.
Meski demikian, sebuah novel yang ditulis Monica Ali, Untold Story, mencoba memberikan gambaran apa yang seandainya terjadi jika Diana memalsukan kematian untuk memulai kehidupan yang baru.
Apa yang disampaikan Earl Spencer itu, menurut Ali, menginspirasi kisah dalam novelnya. Namun, tokoh utama dalam ceritanya bukan bernama Diana, melainkan Lydia.
"Putri dalam kisahku merupakan karakter fiksi yang terinspirasi dari Diana. Ia disukai jutaan orang, namun dalam kehidupan pribadinya ia telah menerima penolakan, patah hati, dan pengkhianatan," tulis Ali seperti dikutip dari Daily Mail, Senin (29/8/2016).
"Dalam kehidupannya yang serba mewah, ia sering merasa dipenjara dan kesepian. Dikelilingi media, ia berjuang untuk mengukir peran yang berarti untuk dirinya sendiri dengan membantu orang kurang mampu dan mereka yang hak-haknya yang dirampas," tambahnya.
Ali pun menambahkan, Lydia menolak melakukan seluruh aturan kerajaan. Segala tekanan itu membuatnya berperilaku semakin nekat.
Berbeda dengan Diana yang hidupnya harus berakhir dalam kecelakaan mobil, Lydia memutuskan untuk memalsukan kematiannya dan memulai kehidupan baru.
Lydia kemudian berhasil mewujudkan fantasinya, tinggal di sebuah kota kecil di Amerika Serikat. Perempuan itu sesekali membuka-buka majalah, mencari berita tentang London -- di mana kehidupan masa lalunya berlangsung.
Lydia diceritakan bisa melakukan apa yang tak bisa ditanggung Diana -- meninggalkan dua putra yang amat disayanginya.
Lalu apa yang mendasari Ali untuk menulis kisah fiksi yang terinspirasi dari kehidupan Diana?
Sisi Diana yang Menginspirasi Ali
Tiga Sisi Kehidupan Diana yang Menonjol
Menurut pengakuannya, ia melihat tiga sisi yang menonjol dari Diana. Pertama, sisi pemberontaknya.
Dibatasi oleh berbagai protokol, Lady Di sering menolak mengikuti aturan dan mengambil risiko besar. Bahkan sebelum ia mendapat gelar kerajaan, Princess of Wales itu kadang-kadang bertindak sembrono.
Pada saat liburan ke Austria tahun 1993, Diana melompat dari balkon hotelnya ke timbunan salju untuk menghindari petugas keamanan agar bisa keluar sepanjang malam. Ia pun menolak diawasi polisi karena takut akan dimata-matai dan ingin bebas bertindak sesuka hati.
Kedua, tentang penderitaannya. Dalam biografi yang ditulis oleh Tina Brown, Diana merupakan salah satu wanita tercantik di dunia, namun suaminya justru menolaknya.
Ketiga, soal keinginan Diana untuk kabur dari kehidupannya sendiri. Princess of Wales hidup di bawah pengawasan ketat yang membuatnya hancur.
Dalam sebuah wawancara dengan Panorama pada 1995, ia mengungkap satu hal yang mengejutkan.
"Teman-teman suamiku mengatakan bahwa aku merupakan sosok yang tak stabil, sakit, dan harus menjalani perawatan agar menjadi lebih baik supaya tak menjadi bahan olok-olok," tutur Diana.
Walaupun hal tersebut tak dilakukannya, namun ia rutin menjalani terapi alternatif yang menjadi semacam cara untuk melepaskan tekanan hidupnya.
Diana juga bermimpi memiliki kehidupan yang biasa. Dengan kekasihnya, ia menikmati bermain 'rumah-rumahan', dengan memasak atau menyeterika pakaian pasangannya.
Ketika salah satu kekasihnya yang merupakan dokter bedah jantung Pakistan, Hasnat Khan, membawanya ke sebuah kelab jazz Ronnie Scott di London, Diana menyamar menggunakan wig berwarna hitam dan kacamata agar dapat berbaur dengan antrean lainnya.
Dia pun berpikir untuk pindah ke luar negeri agar dapat melarikan diri dari berbagai tekanan dan menganggap bahwa Amerika merupakan tujuan yang paling memungkinkan.
Mengenang Kematian Diana
Ali mengenang saat kabar meninggalnya Princess of Wales tersebar di seluruh media. Ia mengaku sangat terkejut dan tak percaya.
Hal yang sama tak hanya terjadi pada dirinya. Seluruh Inggris tampak hanyut dalam kesedihan. Karangan bunga, tulisan belasungkawa, dan lilin-lilin untuk memperingati perginya sang putri tersebar di seluruh Inggris.
Beberapa komentator pun menyebut bahwa momen itu merupakan 'fasisme emosional' yang melanda negeri.
Ali pun teringat saat Princess of Wales berbicara secara terbuka tentang kondisinya yang mengidap bulima, berjabat tangan dengan pasien penderita AIDS, dan mengungkapkan apa yang terjadi di dalam istana.
Di mata Ali, Diana merupakan sosok pemberani yang melawan kebiasaan. Baginya, Princess of Wales merupakan iconoclast, seseorang yang melakukan sesuatu tak dapat dilakukan orang lain.
Advertisement