Ketika Masyarakat Terpencil Sulit Memperoleh Akses Telekomunikasi

Para operator seluler yang memiliki lisensi nasional, diharapkan untuk memperluas jaringan hingga ke kawasan pelosok Indonesia.

oleh Iskandar diperbarui 29 Agu 2016, 20:03 WIB
Salah satu BTS XL Axiata di site HUT Pathuk, Yogyakarta. (Liputan6.com/Corry Anestia)

Liputan6.com, Jakarta - Para operator seluler yang memiliki lisensi nasional, diharapkan untuk memperluas jaringan hingga ke kawasan pelosok Indonesia, khususnya di bagian Timur seperti Papua dan Papua Barat. Pasalnya, pembangunan infrastuktur telekomunikasi selama ini hanya terpusat di Indonesia bagian Barat saja.

Terkait hal ini, Velix Wanggai yang pernah menjabat sebagai Staf Khusus Presiden RI Tahun 2009-2014 menyentil pemerintah, dalam hal ini Menkominfo.

Melalui keterangan tertulisnya, putra Papua itu mengatakan, Papua dan Papua Barat merupakan kawasan investasi. Maka dari itu, investor membutuhkan kepastian dukungan telekomunikasi di berbagai kota maupun pelosok wilayah.

Isu mengenai pembangunan infrastruktur telekomunikasi di daerah terluar pun sempat dibahas di DPR. Pekan lalu, Komisi I DPR RI telah memanggil Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara serta para operator, terkait polemik Revisi PP 52 dan 53 tahun 2000 serta rencana penurunan tarif interkoneksi.

Ketika ditanya anggota Komisi I DPR RI mengenai siapa yang mewajibkan Telkom dan Telkomsel membangun di daerah remote, Menteri Rudiantara mengatakan dengan tegas bahwa dirinya tidak pernah meminta BUMN telekomunikasi tersebut untuk membangun di daerah remote.

“Saya tidak pernah mewajibkan Telkom untuk membangun di daerah remote,” terang Menteri Rudiantara di depan anggota Komisi I DPR RI pada 24 Agustus 2016.

Menurut Wakil Ketua Desk Ketahaan dan Keamanan Cyber Nasional, Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Ir Prakoso, pernyataan Menkominfo tersebut membuktikan bahwa Rudiantara tak mengerti mengenai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia pasal pasal 28 F UUD 1945.

Dalam pasal 28F UUD 1945 dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

“Jika perusahaan telekomunikasi yang mayoritas sahamnya dimiliki asing tak mau membangun di daerah terpencil, lalu bagaimana pemerintah bisa memenuhi hak mereka. Selama ini Menkominfo tidak pernah tegas kepada perusahaan telekomunikasi asing tersebut,” kata Prakoso melalui keterangan resminya, Senin (29/8/2016).

Sebagai contoh, pernah terjadi 10 desa di Kecamatan Long Apari Kabupaten Mahakam Hulu, mengancam akan pindah kewarganegaraan ke Malaysia. Penyebabnya, karena merasa tidak mendapat perhatian dan keadilan dari pemerintah, khususnya dalam mendapatkan layanan telekomunikasi.

Pada saat itu, pemerintah melalui BUMN telekomunikasinya langsung mengoperasikan lima BTS (Base Transceiver Station) di wilayah perbatasan Indonesia - Malaysia.

Peresmian dilakukan oleh Menkominfo Rudiantara pada 15 Desember 2014 di Desa Tiong Ohang, Kecamatan Long Apari Kabupaten Mahakam Ulu, Provinsi Kalimantan Timur.

BTS di Wilayah Perbatasan (Dok: Telkomsel)

Prakoso menambahkan, di dalam Rencana Pitalebar Indonesia 2014-2019 tertulis dengan jelas bahwa pemerintah akan membangun konektivitas nasional yang merupakan bagian dari konektivitas global.

Tujuannya agar pelayanan dasar telekomunikasi ini dapat dinikmati oleh masyarakat di daerah tertinggal, terpencil, dan perbatasan dalam rangka pemerataan pembangunan.

Menurut Prakoso, Rencana Pitalebar Indonesia tersebut juga sesuai dengan poin ketiga Nawa Cita Presiden Joko Widodo tentang membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

"Jika Menkominfo tidak berani ‘memaksa’ para operator tersebut membangun di daerah terpencil dan perbatasan, artinya keberpihakkan beliau kepada operator asing sangat jelas. Beliau juga tidak mendukung program Nawa Cita Presiden Joko Widodo," tutup Prakoso.

(Isk/Cas)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya