Jadi Pelaku Utama Suap, Hak Politik Damayanti Dituntut Dicabut

Meski pelaku utama, terdakwa bukan pelaku intelektual sehingga dapat dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan.

oleh Oscar Ferri diperbarui 29 Agu 2016, 21:55 WIB
Damayanti Wisnu Putranti (DWP) berada di dalam mobil usai menjalani pemeriksaan KPK, Jakarta, Senin (21/3). Kedatangan DWP untuk keperluan proses administrasi dengan penyidik KPK. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Damayanti Wisnu Putranti dengan pidana penjara enam tahun dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.

Selain itu, jaksa juga menuntut majelis hakim agar mencabut hak politik eks anggota Komisi V DPR Fraksi PDIP itu selama lima tahun.

"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dari jabatan publik selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana," kata jaksa Iskandar Marwanto saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (29/8/2016).

Jaksa menilai mantan politikus PDIP itu terbukti bersalah menerima uang suap dari Direktur PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir. Uang suap itu dengan maksud memuluskan proyek pembangunan jalan milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Maluku dan Maluku Utara.

Atas dasar itu, jaksa menilai Damayanti terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Ada sejumlah hal memberatkan dan meringankan yang dipertimbangkan jaksa. Hal memberatkan Damayanti tak mendukung program pemerintah yang mencanangkan pemberantasan korupsi.

Hal meringankan, Damayanti menyesali perbuatannya, menjadi Justice Collaborator, berlaku sopan dalam persidangan, dan telah mengembalikan uang.

Pelaku Utama

Dalam sidang penuntutan ini, jaksa juga menilai Damayanti merupakan pelaku utama dalam kasus dugaan suap ini. Meski begitu, jaksa menyatakan Damayanti dipertimbangkan sebagai justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum. Alasannya, Damayanti bukan pelaku intelektual.

"Meski sebagai pelaku utama, tetapi terdakwa bukan pelaku intelektual sehingga dapat dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan," ujar jaksa Tri Anggoro Mukti.

Jaksa mengatakan, pihaknya menilai tidak ada motif dari Damayanti untuk mencari proyek dan menerima jatah yang didapat dari proyek yang menjadi program aspirasinya. Kata jaksa, Damayanti hanya satu dari sekian banyak anggota Komisi V yang diberikan jatah program aspirasi.

Menurut jaksa, jatah program aspirasi itu sudah ditentukan dan diinisiasi oleh pimpinan Komisi V. "Berdasarkan keterangan terdakwa, program aspirasi termasuk jatah yang diterima setiap anggota Komisi V DPR telah berlangsung sejak lama," ucap jaksa.

Jaksa sebelumnya mendakwa Damayanti menerima suap sebesar Rp 8,1 miliar. Uang pelicin itu diterima Damayanti dari Direktur PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir.

Uang sebanyak itu diberikan kepada Damayanti secara terpisah dengan rincian SGD 328 ribu, Rp 1 miliar dalam bentuk dolar Amerika Serikat, dan SGD 404 ribu. Tujuan uang itu diberikan agar Damayanti mengusahakan proyek pembangunan jalan di Provinsi Maluku dan Maluku Utara masuk ke dalam program aspirasi Komisi V DPR yang dicairkan melalui Kementerian PUPR.

Atas perbuatannya, Damayanti didakwa telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya