Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati tidak ingin salah langkah dalam mengelola fiskal Indonesia. Pengendalian defisit anggaran sangat penting agar Indonesia tidak terjebak pada lilitan utang yang dapat menggerogoti keuangan negara dan merusak kredibilitas.
Dalam Rapat Kerja Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 antara Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama pemerintah, Sri Mulyani menggambarkan kondisi utang di negara maju saat perlambatan ekonomi global.
Advertisement
"Banyak negara mengalami pelebaran defisit anggaran, sehingga membutuhkan pembiayaan. Tapi ini harus didasarkan pada kemampuan negara menanggung utang," terangnya di Gedung Banggar DPR, Jakarta, Selasa (30/9/2016).
Lebih jauh dijelaskan Sri Mulyani, utang Jepang mencapai dua kali lipat dari Produk Domestik Bruto (PDB). "Banyak orang Indonesia mengatakan utang perkapita kita sudah banyak, tapi lihat di Jepang sudah banyak orang utang, outstanding utang per kapitanya tinggi sekali," jelasnya.
Ia menambahkan, utang Amerika Serikat (AS) diperkirakan mencapai 90 persen dari PDB pada 10 tahun mendatang. Sementara Eropa yang masih dilanda krisis, dan mengalami kerapuhan ekonomi, posisi utangnya 90 atau sudah mendekati 100 persen dari PDB.
"Tapi ini kan tergantung kemampuan sebuah negara menanggung utang," terang Sri Mulyani.
Utang Indonesia pada kuartal II 2016 sebesar US$ 323,8 miliar atau setara dengan Rp 4.273 triliun. Pemerintah, kata Sri Mulyani, berupaya mencegah supaya Indonesia tidak mengarah pada kebijakan fiskal yang justru mengancam krisis kredibilitas. Contohnya, sambung dia, negara-negara yang menjadi lokomotif pertumbuhan dunia mengalami penurunan kepercayaan dan berpengaruh pada investasi.
Tambahnya, Indonesia dengan pertumbuhan 5,18 persen di kuartal II-2016 dan 5,04 persen di semester I ini merupakan level pertumbuhan tertinggi di kancah dunia. Di antara negara G20, pencapaian tersebut menempatkan Indonesia sebagai tiga besar dari pertumbuhan ekonomi.
"Tapi di beberapa negara Afrika, memang pertumbuhan ekonomi ini termasuk rendah dibanding Tanzania, Kenya, dan Ethiopia yang mencetak pertumbuhan ekonomi mendekati 9 persen. Tapi kan income negara tersebut masih kecil dibanding kita," pungkas Sri Mulyani.