Liputan6.com, Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara diingatkan untuk tidak memaksakan dalam penetapan revisi biaya interkoneksi per 1 September 2016 dengan mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) karena bisa melanggar etika politik.
“Secara etika politik, jika Rudiantara tetap keluarkan Permen, itu namanya tak menghormati kesepakatan dengan Komisi I DPR sesuai kesimpulan rapat yang mereka gelar pada 24 Agustus 2016, yakni menunda adanya penetapan setelah rapat digelar kembali,” ujar Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala, Rabu (31/8/2016) di Jakarta.
Ia berharap, mata hati Rudiantara terbuka dan bisa berpikir jernih dalam melihat isu biaya interkoneksi setelah Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis (FSP BUMN Strategis) menurunkan massa untuk melakukan demonstrasi pada Selasa (30/8/2016) di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta.
“Itu jangan dilihat sebagai suara karyawan Telkom saja, itu suara Merah Putih. Di Federasi itu ada karyawan PLN, Pertamina, dan lainnya. Bukankah suara rakyat, suara Tuhan,” tegasnya.
Melalui keterangan tertulisnya, Kamilov Sagala menyebut, penetapan revisi biaya interkoneksi merupakan domain kebijakan dari seorang Menkominfo sehingga tanggung jawab ada di pundak Rudiantara.
Baca Juga
Advertisement
“Saya baca di media kemarin mau dilempar ke Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk diumumkan. Ketua BRTI saja belum ada karena Dirjen Pos dan Penyelenggaraan Informatika (PPI) masih Pelaksana Tugas. Ini bagaimana tata cara beracara di Kemkominfo kalau sudah tak sesuai aturan main,” tukasnya.
Sekadar informasi, Ketua BRTI biasanya dijabat oleh seorang Dirjen PPI. Hingga saat ini lelang jabatan Dirjen PPI belum menghasilkan pejabat definitif.
Di sisi lain, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono menegaskan bahwa revisi biaya interkoneksi bukanlah sesuatu bahan yang harus dijadikan polemik.
“Revisi memang dilakukan setiap tiga tahun sekali karena ingin menyesuaikan dengan luasnya cakupan, kebijakan pemerintah yang punya arah tertentu, sehingga dilakukan penyesuaian,” katanya.
Menurut Kristiono, sebetulnya data yang diperlukan untuk revisi interkoneksi sudah jelas.
"Perbedaan itu selalu ada, itu wajar, karena setiap operator punya kepentingan dan tujuan masing-masing. Pemerintah harusnya menjadi jembatan masing-masing operator dan disepakati yang menguntungkan semuanya," tegas Kristiono.
Sedangkan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto menuturkan, revisi biaya interkoneksi jelas menguntungkan operator yang sahamnya dikuasai asing dan malas membangun jaringan hingga ke pelosok.
“Operator Merah Putih (Telkom Group) dirugikan dua kali. Pertama kelebihan bayar, kedua kurang dibayar. Kalau ditetapkan biaya interkoneksi baru, kami akan lapor ke BPK dan KPK,” tuturnya.
Sementara salah satu pimpinan di BPK RI Achsanul Qosasi mengaku telah memantau proses penetapan revisi biaya interkoneksi karena ada potensi kerugian besar untuk keuangan negara.
Timbulkan Kerugian
Dari informasi yang beredar, jika biaya interkoneksi ditetapkan turun 26% secara rerata untuk 18 skenario panggilan, Telkom Group sebagai badan usaha milik negara, berpotensi mengalami kerugian yang cukup besar dalan lima tahun ke depan.
Potensi kerugian mulai dari penurunan pendapatan hingga Rp 100 triliun, setoran dividen dan pajak ke pemerintah berkurang Rp 43 triliun, hingga investasi belanja modal di daerah rural berkurang Rp 12 triliun.
Jika kebijakan ini benar-benar diimplementasikan per 1 September 2016, BPK mengaku tak akan mengintervensi, namun akan tetap mengawasi.
Sebelumnya, industri telekomunikasi tengah menunggu keputusan strategis yang akan diambil Rudiantara terkait penetapan biaya interkoneksi setelah keluarnya Surat Edaran dengan nomor 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani Plt Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Geryantika Kurnia tentang biaya interkoneksi.
Rencananya, keputusan akan diambil usai Rudiantara mengumpulkan semua petinggi operator, pada Senin (29/8/2016) dan berikutnya melakukan Rapat Kerja dengan Komisi I DPR pada (30/8/2016). Namun, RDP dengan Komisi I gagal dilaksanakan sesuai jadwal karena adanya paripurna.
Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almayshari mengatakan, penundaan rapat tersebut akan berimbas kepada penetapan biaya interkoneksi sesuai dengan salah satu kesimpulan pertemuan pada 24 Agustus 2016, di mana salah satunya meminta pengambilan keputusan penetapan sebelum digelar rapat kembali antara Menkominfo dan Komisi I.
"Rapat lagi menunggu jadwal Pak Menteri pulang dari luar negeri. Kami tetap minta tunda implementasi (revisi interkoneksi) sampai RDP selanjutnya," tukasnya.
(Isk/Cas)