Liputan6.com, Washington DC - Ini agenda wajib di tengah Pemilihan Presiden Amerika Serikat: badan intelijen mengontak dua capres untuk menjadwalkan pengarahan (briefing) terkait masalah global, konflik yang melanda dunia, status aktivitas militer AS di luar negeri, juga soal manuver terakhir yang sedang dilakukan pemerintah asing, baik kawan maupun lawan.
Pengarahan yang diberikan kepada capres Demokrat Hillary Clinton dan wakil kubu Republik Donald Trump adalah versi "awal" dari yang diberikan setiap harinya untuk Presiden AS Barack Obama.
Siapa pun, yang akan menduduki Gedung Putih Januari 2017 mendatang, Clinton atau Trump, akan mendapatkan pengarahan yang sama, seperti yang didapatkan Obama setiap pagi, pada pukul 07.45 waktu Washington DC.
The President's Daily Brief, nama memo rahasia itu, kali pertama diberikan ke Presiden AS pada 17 Juni 1961. Tujuannya, jangan sampai penguasa Gedung Putih terkaget-kaget dengan perkembangan informasi dunia yang sungguh cepat.
Baca Juga
Advertisement
Selama bertahun-tahun, CIA merahasiakan apa saja informasi yang diberikan pada Presiden AS. Meski sudah lewat 50 tahun, data-data tersebut dianggap masih berpotensi mengancam keamanan nasional.
Baru beberapa tahun belakangan CIA merevisi kebijakannya, dengan membuka ke publik memo internal atau newsletter rahasia yang dibuat untuk Presiden John F. Kennedy dan Lyndon Johnson.
Para Rabu pekan lalu, 28 Agustus 2016, CIA merilis 2.500 dokumen yang terdiri atas 28 ribu halaman informasi yang disiapkan badan intelijen itu untuk Presiden Richard Nixon (20 Januari 1969-9 Agustus 1974) dan penerusnya, Gerald Ford (9 Agustus 1974-20 Januari 1977).
Meski sejumlah besar diedit untuk alasan keamanan nasional, pengungkapan tersebut sangat berharga secara historis. Tak hanya memberi gambaran tentang kinerja intelijen pada era Perang Dingin, tetapi juga mengungkapkan betapa luar biasanya tanggung jawab seorang Presiden AS.
Respons Presiden AS menanggapi The President's Daily Brief berbeda-beda. Obama membaca lewat iPad miliknya. Sementara, Nixon yang punya prasangka terhadap badan intelijen khususnya CIA--di mana para petingginya yang alumni Ivy League dianggap condong ke lawannya John F Kennedy pada Pemilu 1960--memilih membiarkan lembaran-lembaran memo rahasia tersebut tak tersentuh. Ia lebih memilih menerima pengarahan dari penasihat keamanannya, Henry Kissinger.
Direktur CIA pertama era Nixon, Richard Helms, menulis bahwa presiden tersebut menunjukkan sedikit minat pada layanan intelijen independen. "Ia terus-menerus rewel terkait hubungan dengan CIA," kata dia, seperti dikutip dari CNN, Rabu (31/8/2016).
Membaca lembar demi lembar memo yang diberikan pada Nixon, bisa dimengerti mengapa presiden yang lengser akibat skandal Watergate itu tak mau membacanya. Sebab, CIA secara rutin mengatakan kepadanya hal-hal yang pasti tidak ingin ia dengar.
CIA mengingatkan Nixon bahwa Vietnam Utara dan sekutu komunisnya di Asia Tenggara memenangkan pertempuran, yang menunjukkan strategi militer Amerika Serikat yang gagal, atau tentang Perang Yom Kippur 1973.
Dokumen The President's Daily Brief yang terkuak ke publik juga menguak bukti bahwa intelijen AS menemukan manuver pihak Uni Soviet yang tak biasa--yang menjadi alasan pemerintahan Nixon untuk khawatir.
Tak hanya itu, data-data yang disajikan CIA tak selalu akurat. Badan tersebut gagal memprediksi serangan Mesir dan Suriah ke Israel.
Pada tanggal 5 Oktober 1973, sehari sebelum serangan, Gedung Putih mendapat memo, "Latihan militer sedang digelar di Mesir, lebih besar dan lebih realistis dari yang sebelumnya, tetapi Israel tidak khawatir."
Di Asia Tenggara, CIA meramalkan bahwa komunis lokal, Khmer atau Lao, tidak akan pernah mampu mengalahkan sekutu Amerika tanpa dukungan dari Vietnam Utara--yang merupakan kekuatan tempur yang efektif. Asumsi tersebut terbukti keliru setelah AS menarik pasukannya dari Kamboja.
Ketika Gerald Ford menjadi Presiden pada bulan Agustus 1974, hubungan Gedung Putih dengan CIA membaik secara dramatis. Dia membaca sendiri memo-memo rahasia itu -- yang setidaknya mencerminkan fakta bahwa intelijen AS percaya Presiden mendengarkan mereka.
Bahkan, hingga akhir 1975, seorang pejabat CIA akan berdiri di dekatnya saat sang presiden membaca President's Daily Brief -- siap menjawab segala pertanyaan yang diutarakan.
Pada masa kepemimpinan Ford dan Nixon itulah, sejumlah informasi rahasia bertuliskan 'For The President Only' tentang Indonesia diberikan. Apa saja?
Informasi Rahasia tentang Indonesia
Kala itu, Desember 1975, jelang kunjungan Presiden Amerika Serikat Gerald Ford ke Indonesia, CIA mengingatkan bahwa pemimpin ke-38 AS itu bisa jadi akan menghadapi pertanyaan dari Presiden RI Soeharto.
Soeharto, menurut CIA, akan bertanya terkait posisi AS soal rencana Indonesia "menginvasi" bekas koloni Portugis, Timor Timur, yang sekarang menjadi Timor Leste.
"Soeharto tidak diragukan lagi akan mengajukan pertanyaan tentang Timor (Timur) dalam pembicaraan dengan Anda, sebagai upaya mengetahui reaksi AS," demikian isi memo CIA, seperti dikutip dari CNN.
CIA menambahkan, Soeharto sensitif terhadap kritikan AS. Penguasa Orde Baru tersebut, kata badan intelijen itu, telah menyiapkan aksi tanpa suplai senjata dari AS untuk menghindari masalah dengan Kongres Amerika Serikat.
Sejarawan Douglas Brinkley dalam buku biografi sang presiden mengutip pernyataan Ford yang menyesali sikapnya kemudian. "Aku mengetahui dampaknya setelah meninggalkan Washington. Namun, terlambat."
Informasi terkait Indonesia juga diberikan pada Richard Nixon. Salah satunya bertanggal 7 Januari 1974, yang menginformasikan rencana kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Filipina, Thailand, Singapura, Indonesia, dan Malaysia.
"Kunjungan tersebut berpotensi mengundang kritikan, terutama di Thailand dan Indonesia," demikian kutipan memo CIA.
Pada 12 Januari 1974, CIA menginformasikan bahwa sejumlah pimpinan organisasi mahasiswa di Indonesia berharap demonstrasi yang dilakukan, yang bertepatan dengan kunjungan PM Tanaka akan berkembang menjadi gerakan antipemerintah yang meluas.
Di sisi lain, pemerintah dan militer mengantisipasi kemungkinan tersebut dan mengundang mahasiswa untuk 'berdialog'. Tiga hari kemudian terjadi Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) pada 15 Januari 1974.
Dua hari kemudian, pada 17 Januari 1974, memo kembali dikirim ke meja Presiden AS di Gedung Putih, mengabarkan bahwa mahasiswa yang berdemo berjumlah sekitar 5 ribu orang. CIA menambahkan, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro mengumumkan akan menangkap siapapun yang mengganggu ketertiban.
"Kegagalan militer mencegah kekacauan keamanan menimbulkan saling tuduh antarpemimpin militer, khususnya melawan Jenderal Sumitro."
Advertisement