Liputan6.com, Jakarta Tidak ada satu pun perusahaan di Indonesia yang pembayaran perpajakannya melebihi angka 50% dari nilai industrinya. Perpajakan yang dimaksud di sini adalah pembayaran cukai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PBT (profit before tax) sebesar 10%, serta pajak daerah dan retribusi daerah yang besarnya 10% dari pajak yang disetor IHT.
Data dari tabel di atas menunjukkan, sejak 2009 lalu, dengan nilai industri sebesar Rp 140 triliun, IHT bayar aneka pajak di atas mencapai Rp 71 triliun. Angka ini terus melonjak. Di tahun berikutnya, IHT membayar pajak Rp 80 triliun, meski nilai industrinya cuma naik sebesar Rp 11 triliun.
Persentase pembayaran pajak naik menjadi 53,4% pada 2011 yakni sebesar Rp 92 triliun. Seiring dengan kenaikan nilai industri pada 2014, pembayaran pajak mencapai Rp 154 triliun atau sebesar 55,8% dari nilai industri.
Sebagai perbandingan, pajak industri farmasi dengan nilai industri sebesar Rp 300 triliun, pembayaran pajaknya tak lebih dari 10%. Apalagi dibanding dengan setoran dividen an pajak PT Freeport Indonesia, yang penuh hingar binger politik itu, industri hasil tembakau jauh di atasnya.
Diperkirakan Freeport hanya setor Rp 40 triliun per tahun ke pemerintah. Namun pemerintah harus menanggung risiko kerusakan lingkungan yang sangat besar dengan nilai mungkin jauh lebih besar ketimbang seluruh setoran Freeport.
Sayangnya, pemerintah masih melihat sebelah mata terhadap IHT. Mereka hanya mendengar dari satu pihak soal “mudaratnya” rokok. Pemerintah ogah mencari data pembanding. Karena bisa jadi rokok asli Indonesia, yakni rokok kretek, banyak “manfaatnya”.
Advertisement
(Adv)